“Kau ini harusnya kupanggil onee-san. Kau kan lebih tua dariku,” teriak Kitaro.

Aku mendelik. Anak laki-laki berambut ikal itu sedang meringis sambil menjulurkan lidahnya. Matanya membentuk garis lurus, dibingkai sepasang alis hitam yang tebal. Refleks, kuacungkan tangan sambil bergaya seakan hendak memukul kepalanya. Kitaro terkekeh sambil tetap memasang tampang lucunya.

“Awas saja kalau berani memanggilku seperti itu. Huh!” Aku memang lahir beberapa bulan lebih cepat dari Kitaro. Tapi dipanggil dengan sebutan onee-san? Aku merasa jauh lebih tua darinya, dan aku tak suka itu. Kuurungkan niat untuk memukul kepalanya. Cepat kurebut es krim di tangan kanan Kitaro, lalu kulumat bulat-bulat. Gantian aku yang meringis saat rasa dinginnya menjalari mulut dan tenggorokanku.

“Hei, apa yang… dasar nakal! Rasakan sendiri akibatnya hahaha….” Tawa Kitaro makin menjadi melihat tingkahku yang kelabakan menahan rasa dingin di mulut. Ingin rasanya kumuntahkan semua, tapi gengsiku mengalahkan segalanya.

 

Sapporo bety kristianto

 

Kenangan masa kecil itu berkelebat dalam benakku. Aku hampir tak ingat telah berapa lama mengenal Kitaro. Kami sudah bersahabat sejak sangat kecil. Yang kuingat, sejak pertama kali masuk ke halaman sekolah, kami sudah berjalan bersama dari rumah. Tentu saja, sama-sama diantar okaa-san.

Tinggal di sebuah desa kecil di Sapporo, tak banyak orang yang harus kami hapalkan. Aku bahkan yakin otou-san dan okaa-san mengenal seluruh penduduk desa kami. Kedai ramen keluarga kami sangatlah ramai. Hampir semua orang di desa akan pergi ke tempat kami untuk mengenyangkan perut, terutama saat musim dingin datang. Masakan ibu memang sangat lezat. Tak heran, kedai kami selalu ramai setiap hari.

Rumah keluarga Kitaro berada tepat di samping kedai kami. Mungkin karena itulah, kami bisa bersahabat hingga saat ini. Orang tua kami tak pernah khawatir jika kami menghilang untuk waktu yang cukup lama. Bisa dipastikan, entah aku atau Kitaro sedang berada di rumah salah satu dari kami.

Sahabat? Gelenyar aneh merambati hatiku. Tak ada yang percaya bahwa sepasang laki-laki dan perempuan bisa menjadi sahabat selamanya, bukan? Dan begitulah yang terjadi. Entah sebutan apa yang pantas kuberikan untuk hubungan kami berikutnya. Tak pernah ada kata cinta antara aku dan Kitaro, tapi kami saling menyayangi. Kami sama-sama pernah jatuh cinta pada orang lain, tapi tak ada satu pun yang sanggup menggantikan hubungan kami berdua. Paling tidak, itulah yang kurasakan.

 

Sapporo bety kristianto

 

Aku merapatkan syal yang melingkar di leher, mengusir dingin yang mulai menusuk. Sapporo di musim dingin memang indah dan penuh warna. Lampu-lampu berpendar di sana-sini, patung es yang berjejer di sepanjang Odori Park begitu sayang untuk dilewatkan. Tapi, kau harus memastikan dirimu cukup hangat untuk bertahan di tengah derasnya salju yang siap membuat hidungmu membeku.

Ya, itulah Sapporo, kota kelahiranku, tempat aku menghabiskan waktu seumur hidupku. Tak banyak yang berubah dari kota ini, kecuali Kitaro. Setelah lulus dari Hokaido University, dia memilih pergi ke Tokyo dan mewujudkan mimpinya menjadi seorang teknisi komputer. Sedang aku memilih tetap tinggal di kota ini, melanjutkan usaha ayah dan membesarkan kedai kami.

***

Aku melirik ponsel yang bergetar dalam genggaman. Kitaro. Nama itu berkedip-kedip di layar bening berlatar belakang bunga sakura yang sedang mekar. Kutarik napas perlahan sebelum menggeser tombol hijau ke kanan dan mengucapkan salam.

“Moshi-moshi Kitaro-kun. Kamu sudah sampai? Tunggu sebentar ya,” ucapku riang. Kitaro sedang dalam perjalanan pulang ke Sapporo untuk menjenguk orang tuanya. Aku menawarkan diri untuk menjemputnya. Sekarang dia pasti sudah sampai di Sapporo Chitose, salah satu bandara terbesar di Sapporo. Aku bergegas melangkah lebih cepat menembus kerumunan orang yang berjalan dengan tergesa.

“Aiko-chan. Maaf….”

“Nggak apa-apa, tunggu saja sebentar. Aku sampai situ sepuluh menit lagi.”

“Aiko, dengarkan aku dulu,” tukas Kitaro dengan nada tinggi. Aku berhenti. Instingku mengatakan ada sesuatu yang tak beres.

“Apa pesawatmu di-cancel? Cuaca di sini memang sedikit buruk, tapi….”

“Aiko, aku nggak jadi pulang.” Suara berat Kitaro mengejutkanku.

Perasaanku semakin tak menentu. Entah apa alasan Kitaro membatalkan kepulangannya kali ini. Yang jelas, apapun itu, aku tahu sesuatu yang buruk sedang terjadi.

“Oke, kalau bukan karena cuaca, sekarang katakan apa yang membuatmu nggak jadi pulang?” tukasku gemas. Aku sudah merelakan diriku membelah dinginnya Sapporo hanya untuk melihat sosok yang begitu kurindukan bertahun-tahun ini, tapi dalam sedetik semua yang kubayangkan itu sirna.

“Aku, ehm, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu, Aiko. Aku … ah, gimana ya. Kau tahu, aku sudah menganggapmu seperti saudara sendiri. Ya, kita telah menghabiskan waktu begitu banyak berdua. Tapi, kau tahu, selalu ada saat untuk mengucapkan selamat tinggal, bukan?”

“Maksudmu?” Aku tepekur menatap jalanan yang memutih tertutup salju.

“Kamu nggak ingin bersahabat lagi denganku? Kita nggak akan ketemu lagi? Begitukah?” cecarku.

“Bukan, bukan itu maksudku. Aku, ah… bulan depan aku dan Hima.. hm, kami akan menikah. Dia… wanita yang cantik dan baik, kan?” lanjut Kitaro hati-hati.

“Me-menikah? Ah hahaha.. kamu pasti bercanda kan? Sejak kapan kau.. punya pacar?” Kekehku geli. Kitaro pasti sedang bercanda, sesuatu yang telah menjadi kebiasaannya selama ini. Dia pasti tengah menyusun rencana usil di hari ulang tahunku besok. Awas saja, akan kali ini dia pasti kutendang. Hampir saja aku memakinya, ketika ucapannya membuyarkan lamunanku.

“Aiko.. aku serius kali ini. Kau tahu Hima kan? Kalian pernah saling bertemu beberapa waktu lalu. Kau pasti akan  menyukainya nanti. Nah, kuharap kita masih akan menjadi sahabat. Ya, sahabat. Bagaimana menurutmu?” ucapan Kitaro terdengar gugup.

Jantungku bergejolak. Sedetik keseimbanganku hilang. Kupegang dadaku yang mendadak nyeri. Ucapan Kitaro bagaikan petir yang meruntuhkan langit. Selama ini aku selalu percaya padanya, tapi kata-katanya barusan benar-benar mengguncang kepercayaanku.

“Aiko-chan,  maafkan aku…”

Aku menelan ludah dengan berat. Dari suaranya, aku tahu Kitaro tak sedang bercanda. Kurasakan perih menjalari sekujur tubuh. Jadi inilah alasan laki-laki itu selalu menghindar beberapa waktu belakangan. Cepat kuhapus kedua ujung mataku.

“Ah, kau ini. Kenapa juga harus minta maaf, sih? Kau kan nggak melakukan apa-apa.”

“Ah… Aiko.”

“Kitaro-kun, kita harus merayakan pestamu ya… Awas kalau kau tak mengundangku besok. Ahh… sialan! Saljunya mulai deras, hidungku perih nih,” rutukku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Aiko, kamu baik-baik aja kan? Jangan terlalu lama berada di luar. Kau bisa sakit nanti. Cepatlah pulang, oke?”

“Ya ya ya, aku pasti akan segera pulang. Ngapain juga lama-lama di sini. Kedai ramen kami pasti sedang ramai. Oke?” Sahutku cepat.

“Oh, ya. Baiklah, berhati-hatilah,” jawaban Kitaro membuat kerongkonganku sakit. Tidakkah dia ingin menghiburku sekali saja? Benarkah dia percaya omonganku kali ini? Ke mana kalimat-kalimat penuh kehangatan yang dulu selalu dia sampaikan? Ah, aku membuang udara dengan keras dari mulutku yang mulai kedinginan.

“Sayounara, Aiko. Sampe kita berjumpa lagi,” lanjut Kitaro.

“Oh tunggu, tunggu! Sebelum kau tutup  teleponnya, bolehkah aku mengajukan satu permintaan saja?”

Angin seolah berhenti berdesir, tapi pipiku begitu dingin. Entah karena sapuan butiran putih yang tak henti menderas dari langit, atau guncangan telak yang merenggut sedikit kewarasanku barusan. Aku menarik napas dalam, menyembunyikan nyeri yang menghantam dada. Tak pernah terbayang, saat ini akhirnya datang juga. Bertahun-tahun aku berada sangat dekat dengan Kitaro, ternyata tak memberi kesempatan sedikitpun bagiku untuk memilikinya.

Dua puluh tahun. Ya, aku telah menghabiskan dua dekade untuk mencintai laki-laki di ujung sana itu. Lelaki yang tak hanya mencuri hatiku, tapi juga duniaku tanpa dia tahu. Karena dialah, langit senjaku tak lagi muram. Malam-malamku selalu dipenuhi mimpi indah, bahkan derai salju musim dingin pun tak pernah mampu membuatku menggigil.

Kau tahu? Ketika seorang wanita mencintai pria, dia mampu melewati apapun untuk mempertahankan cintanya. Dan Kitaro adalah matahariku, pelangi dan cahaya yang mengusir kabut dalam hari-hariku. Pria dengan sorot mata setajam elang dan suara berat yang menenangkan itu, tak pernah benar-benar pergi dari hatiku.

Kalau ada hal yang paling kusesali di dunia ini, itu adalah kehilangan Kitaro. Aku tak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Aku selalu berpikir inilah yang terbaik untuk menyelamatkan persahabatan kami. Tapi, tak kusangka rasanya akan sesakit ini.

Deheman pelan yang lebih menyerupai bisikan di ujung telpon memberiku isyarat tentang kehadirannya. Aku mendongak, salju turun makin deras. Sepatu cokelatku nyaris tak terlihat lagi di balik gundukan putih yang dingin. Tapi kakiku enggan melangkah. Aku mematung di bawah pohon sakura yang hanya menyerupai siluet.

“Katakanlah,” Kitaro menjawab.

“Simpan aku di tempat terdalam. Bisakah…?” bisikku gemetar. Kukepalkan tangan kiriku sambil menggigit bibir. Tuhan, tubuhku makin membeku. Detik-detik merayap begitu pelan. Aku bahkan bisa mendengar salju yang turun satu persatu. Kupejamkan mata, menyiapkan hati menunggu jawaban Kitaro selanjutnya.

“Aiko….”

“Aku, ah… sudahlah lupakan saja. Anggap aku tak pernah bertanya soal ini,” tukasku gugup. Aku benar-benar menyesali kebodohanku. Pertanyaanku barusan bukan hanya membuat suasana semakin kaku, aku justru telah membentangkan jurang yang makin lebar di antara kami. Ah, ingin sekali rasanya aku menghilang sekarang dan melupakan semuanya.

“Berpeganglah kuat-kuat, Aiko-chan. Jangan sampai jatuh. Di tempat terdalam itu tak akan ada teman. Hanya kau.”

 

Sapporo bety kristianto

 

Jantungku seolah berhenti berdenyut. Waktu benar-benar membeku. Jawaban Kitaro seperti sinar mentari musim panas yang melelehkan dinginnya salju yang melingkupiku saat ini. Sungguh, aku tak butuh penjelasan panjang lebar. Kuartikan semua itu sebagai persetujuan darinya.

Aku menangis dalam diam. Air mataku tumpah bersama derasnya salju musim dingin di Sapporo. Aku takkan pernah kehilangan Kitaro. Selamanya, dia akan menjadi matahariku, udaraku, dan pelangi yang menghiasi kalbuku meski raganya tak pernah kumiliki.

Aku telah terbiasa mencintainya dalam sunyi, dan sekarang aku akan melakukannya lagi. Aku akan mencintainya seperti embun yang pupus dalam jilatan sinar matahari pagi, atau desau angin yang merontokkan dedaunan di musim gugur.

Aku bergerak menembus dinginnya salju. Embusan napasku bergulung-gulung membelah udara, membentuk siluet wajah Kitaro. Perlahan, wajah itu memudar seiring kakiku yang terus melangkah. Sayounara, Kitaro. Sampai kita bertemu di sebuah tempat rahasia. Tempat yang hanya aku dan kau yang tahu. Aku akan menamainya: ruang rindu.

 

Sapporo bety kristianto

 

***

 

Catatan:
Onee-san: panggilan untuk anak perempuan yang lebih tua (bukan saudara kandung)
Otou-san: ayah
Okaa-san: ibu
Moshi-moshi: halo (sapaan untuk menjawab telpon)

Chan : panggilan untuk perempuan yang akrab

Kun: panggilan kepada laki-laki yang memiliki hubungan akrab.
Sayounara: sampai jumpa, selamat tinggal