“Begin to be now what you will be hereafter.”
– William James –
Ujung jari saya mengelus layar kaca bening yang memancarkan keindahan seseorang di sana. Begitu bening, terang, dan mempesona! Sungguh saya sangat terkesan dan tak hendak berhenti mengagumi sosok yang ada di sana.
Senyum lebar, dibalut kelopak mata yang nyaris tertutup, perempuan itu berdiri dengan penuh percaya diri. Kilatan lampu dan hamburan kertas-kertas berkilat yang melayang di udara menambah suasana riuh dan sempurna sebagai sebuah momen perayaan yang elegan.
Beberapa kali jemari saya terus bergerak. Ke kiri, kanan, zoom out, dan zoom in foto-foto indah itu. Sampai akhirnya saya berhenti, menghela napas, dan dengan malas melemparkan ponsel ke atas kasur yang dingin.
Pagi masih jauh dari jangkauan, tapi mata saya enggan menyipit, apalagi terpejam. Bayangan indah itu seakan menari, dan mempermainkan saraf-saraf otak saya sedemikian rupa, sehingga saya begitu tersiksa.
Entah angin apa yang menarik saya masuk ke belantara dunia maya barusan. Rasanya saya hanya ingin maik-main sebentar, menikmati indahnya dunia imaji itu, bertemu dengan beberapa penampakan yang indah di sana, lalu terseret ke alam mimpi. Nyatanya, saya justru terjaga dengan otak ngebul.
“Saya harus jadi seperti dia!’’ Sebuah ucapan keras berdenging di telinga kanan saya. Menampar kesadaran saya di tengah malam buta. Detik itu juga, saya menemukan titik terang tentang apa yang saya inginkan untuk diri saya. Setelah sekian lama ego saya mengalah dan membiarkan hidup saya mengalir seperti sungai, kini saya ingin bangkit, berkarya, dan menjadi seseorang yang telah lama saya impikan. Menjadi penulis!
Dan sejak malam itulah, saya nekat menulis. Tanpa bekal, tanpa mentor, tanpa kemampuan di atas kertas yang memadai, saya mengetik huruf demi huruf. Sama sekali tak ada gambaran siapa yang akan menjadi pembaca tulisan saya. Pun siapa yang berkenan menerbitkan tulisan itu nantinya. Yang saya tahu, saya hanya ingin menulis.
Waktu berlalu, dan Tuhan izinkan saya menerbitkan dua buku solo dan duet yang indah. Puluhan buku antologi beragam tema pun menjadi saksi betapa gigihnya saya berkarya.
Sungguh saya bersyukur untuk itu semua. Dengan cara dan jalan yang ajaib, Tuhan membuat mimpi saya jadi kenyataan.
Tapi, bukan manusia namanya kalau tak punya kekurangan. Seiring berjalannya waktu, saya mulai kehilangan fokus. Tak puas dengan buku sendiri, saya pun mulai menjaja kemampuan menjadi editor, menulis artikel di media online, hingga menjadi blogger dan ghostwriter. Tak hanya tulisan nonfiksi, dunia fiksi pun saya lakoni dengan rakus.
Puaskah saya?
Belum.
Dan jujur, saya makin oleng. Semakin banyak yang saya kuasai, semakin tamaklah saya jadinya. Dengan pongah, saya cicipi semua kue enak berjudul “dunia kepenulisan” hingga akhirnya saya kekenyangan dan tak lagi mampu menikmati semua itu.
- Saya ingin bisa menulis artikel – done.
- Saya ingin bisa menulis novel – done.
- Saya ingin bisa menulis esai – done.
- Saya ingin sukses menulis buku – done.
- Saya ingin menang lomba blog – done.
- Saya ingin ini… saya ingin itu.. semua membuat saya mabuk dan akhirnya mual.
Sering kali saya kehilangan banyak waktu bersantai dan menikmati hidup. Di lain waktu, saya terlalu sibuk mengerjakan naskah hingga membiarkan anak-anak asik dengan gadget. Atau, saya menghabiskan waktu dengan menanam benih iri pada keberhasilan orang lain. Duh, saya perlu bertobat beneran deh.
Akhirnya saya sampai pada titik di mana saya benar-benar lelah. Lelah mengejar semua ambisi dan mimpi yang tak pernah berakhir. Lelah mengejar kepuasan dan membiarkan diri saya ngos-ngosan tanpa henti.
Di titik itu, saya berhenti. Membiarkan dunia saya dalam jeda yang lumayan panjang. Saya berhenti sejenak dari aktivitas menulis buku, ngeblog, menjadi content writer, dan segala hal yang berhubungan dengan tulis menulis. Saya mencoba memberi waktu bagi diri saya untuk rehat, dan menambal kebocoran di sana sini. Saya berusaha mengerti lagi apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup ini.
Kepergian ibu sangat memengaruhi diri saya. Untuk pertama kalinya, saya tahu rasanya kehilangan. Saya tahu rasanya bagaimana harus membuat prioritas, dan menempatkan apa yang memang seharusnya menjadi yang utama.
Saya mulai berhenti terlalu maruk mengejar impian. Saya belajar bagaimana memahami diri sendiri dan mulai selow menjalani hidup.
Mimpi saya masih banyak, tapi kini saya tak lagi ngoyo menjalaninya. Waktu demi waktu yang bergulir, saya ingin menikmatinya dengan indah. Saya tak lagi ingin menjadi seperti orang lain. Saya tak hendak pongah dan ingin meniru orang lain.
Mereka yang tampak megah di panggung A, belum tentu indah di panggung B. Demikian juga saya. Ada begitu banyak kekurangan di sana sini, tapi saya percaya saya bisa menjadi yang terbaik di bidang yang saya cintai. Syaratnya hanya perlu fokus mengejar tujuan, dan berhenti menjadi pantulan orang lain.
Saya masih mengagumi beberapa orang pastinya. Dari mereka saya belajar banyak tentang bagaimana bekerja keras dan dedikasi pada pekerjaan. Saya percaya, usaha dan perjuangan tak akan mengkhianati hasil.
Sekarang, fokus saya adalah blogging dan menulis buku. Urusan editing naskah, membuat esai, mentoring online, dan beberapa hal lainnya saya skip dulu. Saya tak ingin fokus saya terpecah lagi dan pada akhirnya membuat dunia saya oleng.
Saya ingin menikmati hidup dalam kepenuhan, menjadi diri saya sendiri, dan berhenti mengejar kesempurnaan yang tak akan pernah saya temukan. Sebab dalam ketidaksempurnaan saya itulah, saya bisa fokus pada talenta saya, mengandalkan Tuhan, dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Ini cerita saya hari ini. Apa cerita kamu?
Katanya, meraih kesuksesan itu kuncinya ada 2 : perjuangan & pengorbanan.
Perjuangan tanpa kenal lelah mengejar mimpi, dan pengorbanan untuk hal-hal yang menjauhkan diri dari impian.
So amazed with what you have achieved.
Namun, tampaknya saat ini mbak bety punya fokus lain dan I think it’s great. Semoga tetap bisa menjaga fokusnya dan konsisten ya Mbak.
Salam kenal.