Malam berjalan lambat. Ruang UGD menyemburkan aroma khasnya yang menyesakkan dada. Orang-orang berkelebat dengan mata nanar. Sebagian menangis. Sebagian lagi kosong. Sedangkan aku? Pandanganku terpaku pada sesosok tubuh mungil. Jantungku berpacu cepat, seolah pelari yang mengejar garis finish.  Gadis kecilku sedang berjuang. Dan aku tak kuasa melakukan apapun.

Gusti…seandainya Engkau izinkan, biarlah aku saja yang menanggung derita ini. Teriakku dalam hati. Ingin kuelus Detia, bidadari cantikku. Akan kubisikkan betapa aku mencintainya. Tapi aku harus menahan diriku sendiri, memberi ruang pada dokter dan perawat untuk melakukan tugasnya. Mataku perih, suaraku tercekat di tenggorokan. Suamiku menggenggam erat tangan dinginku, seakan-akan ingin memompakan kekuatan. Kutahan derai-derai hangat yang sedari tadi hendak meluncur. Aku harus kuat.

Tiba-tiba benakku dipenuhi kenangan akan kejadian-kejadian yang telah lalu. Tak pernah kusangka, aku akan melewati begitu banyak episode kehidupan yang luar biasa. Sebagai perempuan, aku hanya minta hal yang normal-normal saja. Seperti kebanyakan orang. Menikah, punya anak, bekerja, punya anak lagi, begitulah kira-kira. Bagiku, semuanya nampak berjalan sebagaimana mestinya. Namun Tuhan rupanya berkehendak lain. Diizinkannya aku melewati saat-saat yang tak mudah. Setelah kelahiran anak pertama, aku harus dikuret saat janinku berusia enam minggu. Jangan tanyakan tentang perasaanku. Seorang ibu selalu jatuh cinta pada darah dagingnya sendiri, bahkan sebelum anak itu berbentuk. Itulah yang kurasakan. Duka yang mendalam.

Kini, setelah berhasil mengatasi duka kehilanganku, Tuhan  menghadiahiku sebuah pelajaran baru. Ia mau aku belajar berharap mutlak kepada-Nya. Detik-detik yang berlalu di UGD ini, seolah tak menyisakan cahaya yang bisa kujadikan petunjuk. Aku bernapas dalam cemas. Mencoba menahan laju waktu yang semakin kejam menusuk tulang. Pengharapan. Hanya itu yang kupunya.

Putriku belum pernah mengalami sakit yang berat. Lima bulan bersamaku, dia hanya pernah sekali mengalami kendala pada telinganya. Itu pun segera sembuh. Selebihnya, dia selalu ceria. Sampai beberapa hari yang lalu terkena flu. Hanya sesederhana itu: FLU. Tak ada yang perlu dicemaskan. Pikirku. Tapi kenyataannya, aku berada di sini sekarang. Tubuh mungil itu tak jua bergerak. Sementara mesin-mesin di sekitar tubuhnya, bagaikan lolongan serigala yang memecah kupingku. Aku berontak.

Kali ini kulepaskan tangan suamiku dan berlari mendekati Detia. Aku tak peduli lagi para dokter dan perawat yang mengelilinginya. Kusibakkan mereka dan kurengkuh anakku. Tubuhnya mulai dingin. Kucium keningnya, kupeluk makin erat sambil berteriak, “Ayo, Sayang berjuanglah. Mama di sini. Bertahanlah!”

Tapi dokter berkata lain. Mereka bilang Detia sudah pergi. Kugelengkan kepala kuat-kuat. Badanku bergetar begitu hebat. Kugoyang-goyangkan tubuh lemah putriku sambil meraung, melolong, berteriak semampuku agar putri kecilku terbangun.

“Adek, ini Mama. Ayo kita pulang. Mama kan mau ulang tahun. Adek kasih kado buat Mama, ya? Ayo, bangun!” Air mataku membludak. Kupeluk dan kuciumi berkali-kali putriku, berharap satu saja keajaiban datang menghampiri. Tapi semua tak pernah terjadi.

Tiba-tiba, kurasakan sebuah sentuhan di pundakku. Suamiku sama kalutnya. Tatapannya nanar, seburam mataku yang penuh dengan air mata. Kami merintih dalam tangisan yang memilukan.

“Tuhan… kenapa Kau ambil gadisku?” isakku perih. Kudekap tubuh mungil yang semakin dingin itu dalam-dalam. Kuciumi keningnya, wajahnya, tangannya, semuanya. Kuingin menghirup aroma tubuhnya kuat-kuat sebelum semuanya hilang.

 

memoar cinta untuk ananda

 

Butuh beberapa jam untukku bisa tenang, sebelum akhirnya membawa Detia pulang. Kami harus menyiapkan diri untuk pemakamannya. Dua hari kemudian, Detia kami kebumikan. Misa khusus kami gelar untuk mengantarkan putri cantikku itu pulang ke surga. Perasaanku tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua emosi begitu bercampur aduk dan berdesakan dalam dadaku. Aku limbung. Detia pergi menjelang hari jadiku. Ah, betapa tipisnya tirai Ilahi ini. Kelahiran dan kematian bersanding menjadi satu dalam lorong sejarah hidupku.

Aku melewati hari-hari yang berat selepas kepergian putriku. Kuputuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Kupikir, aku perlu waktu untuk menenangkan diri dan fokus mengurus anak sulungku. Dia tak kalah sedihnya dariku. Di usia balita, dia harus kehilangan adiknya. Hampir setiap hari dia menanyakan ke mana adiknya pergi. Itu sangat menghancurkanku.

Tak ingin anakku berlarut dalam kesedihannya, kami putuskan untuk memberinya adik lagi. Tuhan mengabulkannya, dan aku pun melahirkan anak keempatku. Iko, begitu aku menamainya, adalah anak istimewa. Entah mengapa, Tuhan suka sekali menghadiahiku bingkisan istimewa dari surga. Setelah dua kali kehilangan janin dan bayiku, sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa Iko juga harus melewati masa sulitnya. Di usia dua bulan, terdeteksi ada cairan masuk ke dalam otaknya. Hal ini membuatnya harus dioperasi. Syukurlah,  operasinya berjalan lancar dan Iko bertumbuh besar sampai sekarang. Namun efek dari sakitnya itu, pertumbuhannya sedikit terhambat. Iko harus menjalani fisioterapi dua kali seminggu, untuk membantunya mencapai tahap perkembangan yang sempurna. Aku mendampinginya setiap saat, memastikan Iko mendapatkan yang terbaik.

Sebagai ibu, aku harus kuat. Berbagai tantangan yang kuhadapi ini adalah pelajaran yang sangat berharga. Semua itu menjadikanku semakin kuat dari hari ke hari. Di usiaku yang belum lagi kepala empat ini, aku telah mempelajari banyak hal. Lewat anak-anak spesial yang Tuhan titipkan, aku belajar bagaimana menjadi kuat, sabar, dan berharap hanya kepada-Nya. Aku tahu, Dia tak pernah memberikan ujian yang lebih berat dibandingkan kekuatanku.

Aku beruntung memiliki suami, orangtua, sahabat dan banyak orang yang mencintai dan mendukungku. Lewat mereka, aku merasakan penyertaan Tuhan. Sekarang, aku menjalani hidupku dengan sukacita. Mendampingi kedua putraku, melihat mereka tumbuh dan berkembang.

Aku tahu, di depan sana masih banyak pelajaran hidup yang menanti untuk kupetik. Satu hal kupercaya, Tuhan ada di sana. Menantiku dengan senyuman dan kasih yang tak terbatas. Karenanya, aku pasti mampu melewati semua. Kalau Dia membantuku melewati semua ini, Dia PASTI akan membantuku melewati apapun yang ada di depan nanti.

 

Maka ciumlah aku, Manisku, dan biarkan kita berpisah.

Dan ketika aku terlalu tua untuk bermimpi,

ciuman itu akan hidup dalam hatiku.

-Phyllis Volkens-

  


 

Ini adalah sebuah memoar yang saya tuliskan berdasarkan true story dari seorang sahabat lama, dan telah diterbitkan dalam buku antologi berjudul “Mengetuk Pintu Langit” oleh Penerbit Bitread. Tentu saja, tulisan ini sudah mendapatkan persetujuan dari sahabat saya tersebut.

Saat menulis memoar ini, perasaan saya campur aduk. Dari sedih, terharu, gugup, sekaligus bahagia melihat ending yang indah bagi sahabat saya ini. Kepergian ananda memang tak pernah bisa digantikan dengan apapun. Tapi satu hal yang pasti, bahwa Tuhan selalu berikan yang terbaik bagi umat-Nya yang berserah dan ikhlas menjalani lakon hidupnya. 

Saat ini, sahabat saya telah memiliki seorang putri yang cantik, sebagai anak kelimanya. Iko, putra keempatnya, juga sudah tumbuh sehat dan ceria, sekarang duduk di bangku SD. 

Kita tak pernah bisa memilih cerita apa yang akan kita lakoni esok hari. Tapi apapun itu, sudah selayaknya kita menghidupi setiap hari, setiap kisah dan alurnya yang kadang tidak tertebak itu, dengan cara yang terbaik. 

Selamat jalan, Detia sayang, kami percaya kau sudah bahagia di surga sana. Mama, Papa, Kakak Rafel, Kakak Iko, dan Dedek bayi selalu merindukanmu. Kami semua selalu mendoakanmu dari sini. Sampai jumpa lagi di keabadian! 

#usapairmata

bety kristianto