Apa itu Selective Mutism – “Ya udah deh, Mami mute aja tivinya kalau kalian nggak mau keganggu!” sahut saya seraya menekan tombol mute pada remote tivi yang sedang menayangkan acara olahraga. Saya yang kebetulan lagi asik ber-yoga ria terpaksa ngalah demi anak-anak yang lagi pada seru bermain ular tangga sambil keketawaan. Alhasil, sesi yoga sore itu pakai backsound teriakan anak-anak. Well, kalau tivi di-mute sih udah biasa ya Moms. Lha kalo anak yang nge-mute dirinya sendiri, kira-kira pernah nemuin nggak? Bukan ngemut ya Moms… tapi nge-mute alias “mematikan” suara dari mulutnya secara penuh.

Bagi kebanyakan orang dewasa, kelakuan anak-anak mengunci mulut dan melancarkan aksi diam seribu bahasa adalah sesuatu yang wajar. Ya nggak sih? Coba kita ingat-ingat lagi deh seberapa sering sih kita nemuin anak-anak -terutama balita- yang enggak berbicara pada orang yang belum dikenalnya dengan baik? Atau pernah nggak ketemu anaknya temen yang kalau pas sama ortunya ngecipris kayak kereta api, eh giliran kita sapa dan diajak salaman langsung mengkeret kayak lipan yang melingkarkan badannya saat tersentuh? Well… it’s just so common. Right?

Meski sepertinya sesuatu yang common alias wajar, ternyata pada sebagian anak perilaku mengunci mulut disertai gesture yang menunjukkan tendensi menutup diri ini adalah hal yang harus diwaspadai loh. Terutama jika hal ini bertolak belakang dengan kebiasaannya sehari-hari saat berada di lingkungan yang dia kenal, dalam hal ini keluarga. Jika di rumah seorang anak terbiasa menunjukkan sisi aktif, ceria, komunikatif dan PD, sementara saat di luar rumah kok tiba-tiba bisa berubah 180 derajat, hal ini harus segera dicurigai. Pasalnya, bisa saja dia mengidap Selective Mutism. Apa itu selective mutism? Yakni suatu gangguan kecemasan yang membuat seseorang fobia bicara atau memilih untuk diam alias “mute mode on” di lingkungan yang membuatnya enggak nyaman. Selective Mutism ini adalah gangguan tumbuh kembang yang kalau diabaikan maka bisa berdampak buruk untuk masa depannya. Hampir sama seperti tombol mute di tivi yang bisa ditekan untuk mengaktifkannya, seseorang juga memiliki tombol yang serupa di dalam dirinya untuk menonaktifkan kemampuan verbalnya sedemikian rupa. Ngeri kan ya, kalau gangguan ini nggak ditangani dengan benar sejak dini, bisa saja seorang anak tumbuh menjadi pribadi yang anti-sosial atau kalaupun mau berinteraksi dengan dunia luar, dia akan sangat pilih-pilih lingkungan mana yang benar-benar membuatnya nyaman. Kalau enggak, bisa jadi dia akan selalu “mematikan” kemampuan berbicaranya.

Penasaran nggak sih apa sebetulnya yang menyebabkan timbulnya selective mutism ini? Lalu apakah hal ini bisa dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, dan apakah gangguan ini bisa langsung dikenali dengan mudah? Bagaimana pula penanganan yang tepat untuk mencegah gangguan ini menjadi lebih buruk di masa depan? Hihihi… syabaarrr Bu! Semua pertanyaan ini akan dikupas satu-persatu. Bukan!!! Bukan saya yang mau ngupas, tapi saya mau kasih rekomendasi buku kece yang bakalan menjadi pemuas keingintahuan kita semua tentang apa itu selective mutism.

Jadi, kemarin-kemarin (duh udah agak lama sih sebenernya) saya tuh beli buku karya sesama penulis perempuan yang kece abis, beliau kebetulan blogger juga seperti saya. Namanya Mba Sitatur Rohmah, yang saya kenal dalam sebuah komunitas penulis dan blogger perempuan. Bukunya yang berjudul 365 Hariku Bersama Ananda – Terapi Mandiri pada Anak dengan Gangguan Selective Mutism ini merupakan debut buku single perdananya yang mengupas soal selective mutism yang kebetulan dialami sendiri oleh sang putra. Untuk lebih detail, berikut ini adalah informasi tentang buku ber-cover dominan hijau ini.

Apa itu selective mutism

Judul Buku : 365 Hariku Bersama Ananda – Terapi Mandiri pada Anak dengan Gangguan Selective Mutism

Penulis : Sitatur Rohmah

Penerbit : Metagraf, Creative Imprint of Tiga Serangkai

Tahun terbit : 2019

Kategori : Parenting

Tebal : x + 146 hlm

No. ISBN : 978-623-7506-10-2

Harga : Rp. 50.000

Biar nggak makin penasaran, berikut ini saya sertakan blurb (back cover) bukunya ya

Apa itu selective mutism

Gimana, udah ada gambaran tentang isi buku ini? Yup, penulis mencoba memberikan gambaran yang lengkap tentang selective mutism beserta rekomendasi penanganannya.

Buku setebal 146 halaman ini dibungkus cover dengan dominasi warna hijau tua. Judul tulisan berukuran besar tampak eye catching karena menghabiskan sebagian besar halaman utamanya. Meski begitu, secara keseluruhan desain cover-nya masih enak dipandang mata. Sedangkan di bagian dalam, penerbit membanderol naskah dengan pilihan kertas paper book berwarna kuning dan pilihan font yang cukup nyaman. Yang bikin hepi lagi adalah ukuran hurufnya juga besar ya .. jadi tambah nyaman di mata, even buat pembaca bermata plus minus kayak saya. Beratnya pun nggak seberapa jadi handy kalau mau dibawa ke mana-mana. Meski begitu, kalau saya sih selama ini lebih nyaman kalau membaca pas di rumah aja.

Dalam buku perdananya ini, penulis membagi tulisannya dalam 3 bab. Bab kedua adalah yang terpanjang dan terlengkap, berisi hampir semua hal yang berkaitan dengan selective mutism. Nah, biar enggak bertanya-tanya, langsung aja yuk kita simak apa aja di dalam setiap babnya.

Bab pertama buku ini berjudul Menyadari dan Menerima. Di dalamnya, penulis menjabarkan latar belakang terjadinya selective mutism, termasuk juga penjelasan tentang apa sih sebenernya selective mutism ini dari sudut pandang psikologis dan keilmuan. So, dari bab pertama ini pertanyaan mendasar soal apa dan bagaimana gangguan kecemasan ini bisa terjadi sudah sedikit banyak dikupas oleh penulis. Ternyata selective mutism ini juga dipengaruhi oleh pola asuh dan pembentukan kebiasaan anak sejak kecil loh Moms. Dududu… langsung deh auto instrospeksi diri pas baca bagian ini hehehe.

Di bab kedua yang diberi judul Membersamai dan Melompat Bersama, penulis mencantumkan beberapa contoh kasus bagaimana anak dengan SM bereaksi terhadap lingkungan luarnya. Termasuk bagaimana cara mereka memanipulasi kondisi tertentu untuk kemudian melancarkan aksi diamnya. Dalam bab ini penulis juga membahas tentang bagaimana parents harus bersikap dalam menghadapi anak dengan SM agar mereka bisa membuka diri dan pada akhirnya mematikan tombol mute saat harus berhadapan dengan kondisi yang kurang nyaman.

Selain merekomendasikan beberapa tindakan dan sikap yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua terhadap anak dengan SM, penulis juga menyertakan rekomendasi kapan sih sebaiknya kita memberi perhatian lebih pada mereka, plus waktu yang tepat untuk mencari pertolongan dari tenaga profesional. Hm, jadi kebayang deh kalau SM ini emang bukan gangguan yang bisa diabaikan begitu saja ya Moms and Dads.

Nah, kabar baiknya, dalam buku ini penulis juga mencantumkan rekomendasi sumber-sumber yang kredibel dan valid yang bisa diakses secara online untuk mengetahui informasi tentang apa sih yang disebut dengan selective mutism ini. Mayan banget loh daripada pusing nyari sana-sini kan, belum tentu dapet info yang bener.

Penulis menutup buku ini dengan bab ketiga yang berisi rangkuman dari dua bab sebelumnya, dilengkapi dengan beberapa informasi tambahan. Namun, semua hal yang menjadi pembahasan utama sudah dikupas di bab kedua ya. Jadi bab terakhir ini beneran semacam recap yang dipermanis dengan sedikit penjelasan mengenai kondisi terakhir sang putra yang sebelumnya mengidap selective mutism. Dalam bab akhir ini juga ditulis soal bagaimana penerimaan tulus orang tua plus tindakan cepat tanggap terhadap anak-anak dengan SM ini bisa mendongkrak kepercayaan diri sang anak sekaligus membuat mereka lebih cepat untuk mau membuka diri dan keluar dari lilitan selective mutism.

Plus Minus Buku ini Berdasarkan Opini Pribadi Saya

Setiap buku sejatinya memiliki nilai lebih dan kurang, demikian juga dengan buku milik Sitatur Rohmah ini. Mantan penyiar, reporter, programmer, hingga manajer siar sebuah radio di Solo ini telah menuangkan ide besar tulisan yang sangat bagus dan bermanfaat untuk pembacanya. Namun bagaimanapun juga, selalu ada poin yang bisa dikoreksi. Di bawah ini adalah kesan pesan saya setelah menyelesaikan buku 365 Hariku Bersama Ananda.

Poin Plus

  1. Packagingnya cute, nyaman di mata and nggak berat ditenteng. Pas buat temen pas waktu kosong tanpa worried bakalan pegel bawa-bawa ke mana-mana. Kertas dan pilihan font-nya juga enakeun, nggak bikin mata jereng. Desain dalamnya pun cukup stylish.
  2. Buku ini minim typo, jadi ngggak bikin otak saya konslet gara-gara bingung nyari arti kalimat demi kalimat yang berbaris rapi di dalamnya. Good job untuk penulis dan editornya pokoknya mah.
  3. Isinya sangat bermanfaat. Selain itu, referensi dan sumber-sumber informasinya banyak dan terpercaya. Saya merekomendasikannya untuk para pendidik, pengajar, pemerhati dunia anak, dan tentu saja orang tua. Informasi di dalamnya daging banget, dan pastinya nggak akan rugi dibaca.
  4. Harganya murmer banget, apalagi kalau beli langsung di penulis bisa dapetin tanda tangan plus kata-kata mutiara. Oya, kemarin saya malah dapet free face mask loh. Mayan banget kan bisa dipake kalau mau keluar rumah di masa pandemi Covid-19 ini. Jadi walau nggak bisa pakai lipstik matte warna warni, tetep pede dengan masker yang cantik.
  5. Iustrasi yang ada di dalamnya bikin buku makin asik. Nggak bosen ketemu sama kata-kata doang.

Sedangkan poin minusnya adalah

  1. Gaya bahasa yang dipakai oleh penulis cukup “berat” buat saya yang terbiasa nulis dan ngomong cablak. Meski secara keseluruhan semua kalimat yang dipergunakan memang benar secara kaidah tata bahasa, sepertinya otak sanguinis saya terlalu ambyar untuk mengunyahnya dengan cepat. Alhasil, dalam beberapa menit saya selalu merasa lelah dan harus rehat dan meneruskannya nanti atau besok, nunggu mood dan otak saya siap dulu. Tapi ini kasusistik ya, mungkin saja bagi pembaca lain yang emang suka dengan gaya bahasa seperti ini no problem. Jadi plis don’t make it common.
  2. Keseluruhan isi buku dengan judul menurut saya agak kurang nyambung. Tadinya saya berharap akan mendapatkan curhatan penulis plus “melihat” kesehariannya membersamai ananda yang mengidap selective mutism. Nyatanya, hal ini enggak saya dapatkan hingga khatam membaca buku. Hanya ada satu clue kecil yang saya dapatkan di halaman 137 di mana penulis menyebutkan Dalam kurun waktu satu tahun sejak diketahui mengalami gangguan tersebut, Ananda sudah menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Hal inilah yang kemudian saya artikan, “Oh, mungkin ini yang jadi inspirasi judul buku kali ya.” Gicuu.. hihi maapkan kalau salah. Well sebenernya saya berharap buku ini bisa ditulis dengan lebih personal, ya. I mean penulis sebenernya bisa mengeksplor lebih detail lagi bagaimana gangguan yang dialami oleh sang buah hati, alih-alih mencantumkan terlalu banyak contoh kasus dari orang lain. Kemudian menuangkan catatan tentang apa saja yang sudah dilakukan selama 365 hari sampai akhirnya ananda bisa menunjukkan kemajuan yang berarti. Kalau modelnya seperti itu, sepertinya buku ini bakalan lebih “hidup” dan menarik.
  3. Dalam buku ini peran utama dalam menghadapi anak dengan SM lebih banyak menyoroti sisi ibu saja, sementara peran ayah dan anggota keluarga lainnya hampir tidak ada informasi. Termasuk bagaimana guru dan pendidik di sekolah plus tenaga profesional dilibatkan. Seandainya saja penulis memasukkan variabel-variabel itu, tentu informasinya akan lebih lengkap.

Over all, saya cukup tercerahkan dengan buku ini. Meskipun agak berat temanya buat saya, tapi sekali lagi buku ini sarat informasi yang sangat bermanfaat. So, saya merekomendasikannya untuk para pembaca yang ingin menambah wawasan tentang dunia tumbuh kembang buah hati, pola asuh dan pendidikan serta kalian yang suka menimba ilmu baru tentang segala hal.

Apa itu selective mutism

Apa itu selective mutism

Mau dapetin buku ini? Kuy langsung aja ke toko buku, beli online di marketplace, atau kontak langsung penulisnya di akun medsosnya berikut ini

Sitatur Rohmah

IG : @sitatur_rohmah

FB : Anik Sitatur Rohmah

Semoga review ini bermanfaat dan bisa memberikan insight tentang apa itu selective mutism ya. Thank you and see you on another review!