Lea mengalihkan pandangan dari jam dinding. Jam satu malam, dan Christ belum juga menampakkan batang hidungnya. Sudah lelah dia bolak-balik memelototi benda bulat berwarna putih itu. Lea mengembuskan napasnya dengan keras, lalu turun dari tempat tidur.
Entah apa yang sedang dilakukan laki-laki itu di luar sana. Ingin sekali dia menelepon Christ dan menginterogasinya sampai puas, tapi ia tahu hal itu akan sia-sia. Laki-laki itu pasti tidak mau mengaku. Alih-alih menjawab pertanyaannya, Christ pasti akan menyemprotnya dengan kata-kata kasar. Itupun kalau dia mau mengangkat teleponnya.
Lea gemas sekali. Beberapa kali jemarinya saling meremas. Sudah hampir lima bulan ini sikap suaminya sangat berbeda. Tak ada lagi Christ yang hangat dan penuh perhatian.
Lea bukannya mengabaikan perubahan sikap Christ yang sangat mencolok itu. Sudah beberapa kali dia mencoba menanyakan hal itu baik-baik, tapi Christ justru menanggapinya dengan amarah. Christ selalu menganggapnya kekanak-kanakan dan berlebihan. Ujung-ujungnya, mereka hanya akan berdebat tanpa akhir dan keadaan justru bertambah buruk.
Lea termangu. Hatinya tak menentu. Dia tak habis pikir mengapa rumah tangganya menjadi seperti ini. Dulu, Christ adalah laki-laki yang penuh perhatian. Selain sikap santunnya pada wanita, suaminya itu juga sangat bertanggung jawab. Tak hanya masalah pekerjaan, Christ juga selalu memperhatikannya. Tapi sekarang, jangankan perhatian. Pulang kerja menjelang magrib saja sudah bagus. Ah, betapa Lea begitu merindukan suaminya yang dulu. Mata perempuan itu terpejam sesaat.
Anak? Hati Lea berdesir. Bukan sekali dua kali dia membahas masalah itu di depan Christ. Lea sudah lelah dengan topik yang satu itu. Sejak menikah tiga tahun yang lalu, rumah mereka masih saja sepi tanpa tangisan bayi. Berbagai usaha sudah mereka lakukan, tapi hasilnya tetap saja nihil. Lea tahu, Christ sangat ingin memiliki anak, tapi apa daya Tuhan belum memercayainya menjadi seorang ibu.
Selama ini, Christ tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Mereka tetap bisa tertawa bersama. Paling tidak sampai lima bulan yang lalu, sebelum semua menjadi seperti ini. Lea jadi bertanya-tanya apakah jauh di lubuk hati laki-laki itu diam-diam juga merindukan anak. Kalaupun benar begitu, mengapa Christ tak memberitahunya dan justru memperlakukannya seperti ini. Lea ingin sekali menjerit agar himpitan di dadanya sedikit berkurang.
Bunyi gerbang terbuka menarik perhatiannya. Bergegas, Lea menuju ke jendela dan mengintip dari balik tirai. Sedan hitam Christ perlahan memasuki halaman. Lea bernapas lega. Meski sangat terlambat, paling tidak suaminya itu masih ingat pulang.
“Baru pulang?” sambut Lea di depan kamar. Matanya mengawasi Christ dengan saksama. Entah mata Lea yang salah atau memang suaminya itu memang banyak berubah. Wajah tampan Christ begitu tirus. Cambang dan kumis yang sengaja dibiarkannya tumbuh lebat tak mampu menutupi tumpukan daging yang seharusnya ada di sana. Begitu pula matanya. Lea heran ke mana perginya tatapan mesra penuh kehangatan yang dulu selalu membiusnya. Di depannya kini hanya ada sesosok pria yang kuyu, lelah dan tampak begitu berantakan. Sengaja Lea tak bertanya lebih banyak. Dia ingin suaminya itu sekadar menyapanya atau mengulurkan tangan untuk diciumnya dengan takzim. Lea tak butuh pelukan atau keromantisan laki-laki itu. Lea hanya ingin suaminya tahu betapa cemasnya dia menunggu Christ pulang.
Harapan Lea terlalu tinggi. Laki-laki di depannya itu diam seribu bahasa. Kalau bukan karena kedua bola matanya yang masih bergerak dan dengusan napasnya yang terdengar keras di telinga, Lea hampir saja mengira suaminya itu berbah menjadi patung.
“Kamu mabuk?” tanya Lea lagi sambil mendekat. Kali ini suaranya meninggi. Kesal di hatinya tak mampu lagi ditahan. Lea bergerak, hendak meraih tangan suaminya.
“Minggir,” jawab Christ pendek sambil menepis tangan istrinya. Lea terpaku. Christ melewatinya begitu saja, lalu melangkah ke kamar. Bergegas, Lea membuntutinya. Dia sudah hampir kebal dengan perlakuan suaminya beberapa bulan terakhir. Karena itu, sikap Christ barusan tak terlalu mengejutkannya.
“Kita harus bicara, Christ!” kejar Lea. Hatinya makin tak karuan. Laki-laki itu seperti orang asing baginya.
Christ menoleh sebentar sambil menaikkan alis. Tangannya sibuk melepaskan baju kerja dan melemparkannya begitu saja ke lantai. Lea menahan napas. Betapa kurus tubuh suaminya itu.
“Aku ngantuk,” jawab Christ pendek.
“Christ, sampai kapan kita mau kayak gini?” sergah Lea dengan nada tinggi. Tak dipedulikannya jawaban laki-laki itu. Sesak di dadanya kini sudah hampir mencekik leher.
“Kamu ini kenapa sih?” jawab Christ sambil memutar tubuh. Matanya menatap tajam ke arah istrinya itu dengan pandangan tak suka. Dia sangat lelah dan ingin tidur. Celotehan bawel Lea sama sekali tak membantu. Kepalanya pening sekali, seakan ada tekanan keras di dalam sana yang membuatnya mual dan pandangannya sedikit kabur.
“Kamu yang kenapa Christ? Bukan aku!” teriak Lea dengan pahit. Air mata sudah hampir jatuh di pipinya. “Jawab aku, Christ!” lanjutnya makin meradang. Lea tak peduli lagi kalau suaminya itu memukul atau menamparnya. Dia sudah benar-benar lelah dengan semua ini. Dia hanya butuh penjelasan. Titik.
“Aku ini kerja, bukan main-main di luar sana Lea! Jangan cengeng ah, kita ini bukan pengantin baru yang harus mesra-mesraan tiap hari. Ngerti?” semprot Christ sambil membanting dirinya ke kasur dan menenggelamkan kepalanya di antara bantal.
Lea terhenyak. Air mata sudah membanjir di kedua pipinya. Setengah berlari, Lea keluar kamar lalu menuju dapur dan menjatuhkan dirinya dengan keras di lantai. Hatinya hancur, Christ benar-benar keterlaluan. Bahkan tangisannya pun dianggap angin lalu oleh laki-laki yang sangat dicintainya itu. Lea meletakkan kedua tangan di depan wajahnya sambil memejamkan mata. Sungguh, dia sangat kehilangan Christ yang dulu, laki-laki yang telah merebut hatinya dengan kelembutan dan perhatian tulus, bukan seperti sekarang. Suami yang kasar, arogan dan sama sekali tak punya hati.
*
Lea sedang merapikan lemari, ketika matanya tertumbuk pada sebuah amplop cokelat. Benda itu terselip di antara baju-baju lama Christ. Kalau bukan karena kebetulan, akan sulit rasanya menemukannya. Lea mengernyitkan dahi. Seingatnya dia tak pernah meletakkan apapun di sini. Dengan hati-hati, ditariknya amplop berukuran besar itu. Sekilas Lea membaca logo sebuah rumah sakit dengan nama Christ di bagian depan. Mendadak, hatinya berdebar kencang. Ada rasa takut yang tiba-tiba menyergapnya.
Dengan tergesa, Lea membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Sebuah negatif foto bergambar bulatan-bulatan terpampang di sana. Sekelebat perasaan ngeri mencengkeram batinnya, membuat darah seakan terpompa lebih cepat. Lea merogoh lagi amplop itu dan menemukan beberapa kertas putih yang penuh dengan istilah-istilah asing yang belum pernah diketahuinya.
Mata Lea beralih lagi ke negatif foto di tangan kanannya. Tengkorak? Lea bergidik ngeri membayangkan apa yang disembunyikan Christ selama ini. Jangan-jangan ….
Napas Lea memburu. Bayangan buruk menghantui pikirannya. Dengan gemetar, Lea membaca kertas di tangan kirinya. Matanya menyusuri kalimat demi kalimat yang membuat tubuhnya tegang.
“Edema cerebri dengan tanda peningkatan tekanan intra kranial, batas kortex dan medulla tegas … tampak hiperotosis frontoparietal bilateral.” Lea membaca tulisan di kertas itu pelan-pelan. Bibirnya bergetar hebat, sementara air mata mulai memburamkan pandangan. Meski tak paham sama sekali istilah-istilah medis tersebut, instingnya mengatakan ada sesuatu yang buruk menimpa suaminya.
Dengan hati hancur, Lea membaca kembali kertas itu. “Kesan yang ditimbulkan … gambaran meningioma regio frontalis sinistra, dengan tanda-tanda … oh Tuhan, apa ini?” Lea terisak. Pandangannya kini benar-benar kabur. Tubuhnya melorot ke lantai dan terduduk dengan lemas. Hati dan otaknya bereaksi sama cepat. Inikah yang membuat Christ berubah?
Lea mengambil ponselnya. Jarinya mengetik sesuatu pada mesin pencari. Sesaat kemudian, matanya kembali basah.
Kanker? Ya Tuhan, Lea kalut. Dia tak bisa mengerti mengapa Christ tega menyembunyikan hal ini kepadanya selama berbulan-bulan. Mereka sudah berjanji sehidup semati untuk saling berbagi suka dan duka sampai maut memisahkan. Tapi apa yang dilakukan laki-laki itu? Dia memilih untuk mengkhianati janji suci mereka dan menanggung lara sendirian.
Lea ingin menjerit memanggil Christ, tapi mulutnya seakan terkunci. Kerongkongannya tercekat dan sekujur tubuhnya tegang. Tak sabar rasanya menunggu laki-laki itu pulang. Tapi, menyusulnya ke kantor dan memborbardirnya dengan pertanyaan tentang hal ini hanya akan membawanya pada masalah baru.
Rumah sakit! Sebuah ide melintas di kepalanya. Secepat kilat Lea meraih tas dari atas meja, mengambil kunci mobil lalu bergegas menuju ke garasi. Dibawanya amplop cokelat tadi di tangan kiri. Tekadnya sudah bulat, dia harus mendapatkan penjelasan. Kalau Christ tak bisa, harus ada orang lain yang melakukannya. Dan di saat seperti ini, Lea tak peduli lagi seandainya dokter memarahinya atau bahkan memakinya sekalipun.
“Suami ibu menderita kanker otak,” ucap Dr. Aryo hati-hati.
Lea seperti tersambar petir di siang bolong. Ucapan dokter tua berwajah oriental dengan kacamata bulat itu, nyaris membuatnya pingsan. Ingin sekali Lea meninju laki-laki itu dan menuduhnya berbohong. Tapi bukti-bukti yang ada di depannya itu membungkamnya. Kata-kata berjejalan dalam otaknya, tapi tak satupun yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang mengalir deras sebagai gantinya.
Dokter Aryo menatap Lea prihatin. Sebagai seorang senior di rumah sakit ini, hampir setiap hari dia harus menghadapi situasi seperti ini. Kesedihan, kekalutan, dan air mata sudah menjadi hal yang biasa baginya. Meski begitu, hatinya bukanlah batu. Dia selalu tersentuh dan berempati pada keluarga pasiennya. Karena itu, sebisa mungkin dia selalu memilih kata-kata yang tepat agar keluarga pasien ini bisa berlapang dada dan mendukung proses pengobatan yang dilakukan.
“Seberapa parah, Dok?” tanya Lea pelan, setelah bisa menguasai diri.
“Dari hasil MRI dan ct scan ini, kemungkinan besar sel-sel kanker suami Ibu sudah mulai memasuki stadium lanjut,” ucap Dr. Aryo sambil menunjuk beberapa negatif foto dan kertas berisi keterangan medis tentang Christ.
“Ibu nggak memperhatikan perubahan fisiknya selama ini? Gejala awal memang tidak mudah dikenali. Tapi” lanjutnya heran.
Lea tersentak. Bayangan Christ berkelebat di otaknya. Beberapa bulan ini Christ memang terlihat sering murung. Lea ingat pernah sekali memergokinya tengah menelungkup di meja kerjanya
rebenarnya, tidak ada stadium khusus untuk menangani kanker otak ini, Bu. Hanya saja ketika gejala awal kanker otak sangat ringan, hampir bisa disamakan dengan penyakit lainnya,” beber Dr. Aryo panjang lebar.
*
Christ merapatkan kerah jaketnya. Udara malam ini lumayan dingin. Salahnya juga memilih duduk di balkon tengah malah begini. Lea tak ada di rumah. Entah ke mana istrinya itu pergi.
Laki-laki itu menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. Ada rasa berat menggelayut di dadanya. Christ sadar apa yang dilakukannya telah menyakiti hati perempuan itu. Orang yang sangat disayangi dan dicintainya. Sungguh, dia tak ingin melihat air mata di wajah cantik itu. Mati-matian dia menahan tangisnya sendiri setiap kali melihat gurat kesedihan di sana.
Christ merasa kepalanya pening, namun dia bergeming. Sakit di kepalanya tak seperih hatinya. Perlahan otaknya menghitung hari. Dia tak pernah tahu kapan semua ini akan berakhir. Tuhan, kalau saja boleh memilih, dia ingin mati saat ini saja. Dia tak mau Lea tahu keadaannya dan menangisi kepergiannya nanti. Lebih baik Lea mengingatnya sebagai suami yang jahat, sehingga dia bisa melanjutkan hidupnya dengan mudah.
“Christ,” suara Lea mengejutkannya. Christ menoleh dan mendapati istrinya tengah menatap dengan pandangan khawatir. Sedetik kemudian, perempuan itu berlari ke arahnya dan memeluknya erat.
“Kenapa kamu menyembunyikan semua ini? Kenapa harus menanggung semuanya sendirian?” tanya Lea di sela tangisannya. Tangannya memeluk erat tubuh Christ yang termangu.
“Kamu kenapa sih? Lepasin!”
“Nggak! Aku nggak akan ngelepasin kamu lagi. Kamu boleh membenciku, tapi aku nggak akan ngelepasin kamu. Aku udah tahu semuanya, Christ. Jangan tutup-tutupi lagi,” potong Lea cepat. Kedua tangannya berpindah ke wajah Christ lalu berhenti di sana. Mata mereka beradu.
Christ membuang pandangannya tapi Lea bereaksi lebih cepat. Tangannya menahan kepala Christ agar tetap menghadap ke wajahnya. Hati Lea miris, wajah suaminya terlihat makin tirus, kulitnya tak lagi sekencang dulu, dan matanya sayu. Lea menyalahkan dirinya sendiri karena baru sekarang memperhatikan kondisi fisik Christ.
“Aku mencintaimu, kau tahu itu? Jangan perlakukan aku seperti ini lagi,” ucapnya dengan suara pelan. Air mata menganak sungai di kedua pipi Lea.
“Pergilah, lepaskan aku.”
“Tidak!” sergah Lea cepat, “lebih baik aku mati daripada berpisah sama kamu,” lanjutnya.
“Aku sekarat, Lea. Kanker itu makin buas. Aku ….”
“Karena itu, biarkan aku menemanimu. Please,” potong Lea cepat.
Christ menelan ludah. Pemandangan di depannya membuat hatinya luluh. Ada ketulusan dalam mata Lea. Christ bisa merasakan aliran hangat dari hati perempuan itu. Aliran yang menyentuh batinnya, menggerakkan nalurinya dan membuatnya menangis.
“Aku takut,” bisik Christ nyaris tak terdengar.
Lea memeluknya lebih erat. Tak disangkanya, laki-aki ini begitu rapuh. Sikap kasarnya hanya untuk menutupi ketakutan yang mencengkeram hatinya.
“Kita akan menghadapinya berdua. Ya, berdua,” ucap Lea mantab. Christ mengangguk. Matanya masih basah, tapi hatinya hangat oleh cinta Lea yang begitu tulus. Sungguh dia bersyukur memiliki Lea. Meski hari-hari di depan masih akan suram, tapi ini tahu akan ada pelangi yang indah setelah badai. Ya, pelangi kasih mereka berdua.
***
Cerpen ini sudah diterbitkan versi cetaknya dalam buku antologi berjudul Living with Mr. Perfect tahun 2016 lalu. Buku ini adalah salah satu buku keroyokan saya dengan temen-temen penulis fiksi di komunitas Cloverline Creative. Itulah cikal bakal saya mulai berani menulis fiksi, setelah sebelumnya lebih nyaman bergelut di bidang non-fiksi.
Oya, waktu itu saya belum ngeblog seperti sekarang. Jadi masih punya banyak waktu buat ngefiksi (yang ternyata enggak gampang) hahaha… Buat temen-temen yang pengen lihat dan baca novel perdana saya, bisa langsung beli Coelho’s Circle ya. Reviewnya udah saya tuliskan di postingan lawas di blog ini juga. Kalian juga bisa searching mbah Gugel dengan KW : Coelho’s Circle atau Review Coelho’s Circle.
Writing is not just sharing your thought. Writing is binding eternity. So, just keep writing!
Laki-laki emang suka gitu ya, mbak. Pura-pura kuat walaupun sebenarnya rapuh banget. Btw, keren nih cerpennya mbak Bety.
Ada temen SMA yg udah wafat karena kanker otak. Dengan kanker tuh serasa copot sih jantung. Kebayang jadi Lea yg mendampingi Chris yang sakit parah…
Keren fiksinya mb Bety…mengalir jadi ikut merasakan perasaan Lea…
Ini keren!
Aku suka alurnya, ga ketebak dengan ending yang jempol!
Mbak Bety ini enggak non-fiksi enggak fiksi nulisnya memang nendang
Pantas jago nulis fiksi, fiksi perdananya saja sudah sekeren ini sih.
Nulis fiksi lagi dong, saya suka. Endingnya bikin hatiku menghangat.