Aku terbangun cepat. Napasku memburu. Keringat membanjir di sekujur tubuh. Refleks, mataku menyapu seisi kamar. Semua masih pada tempatnya. Tak ada satupun yang bergerak, kecuali aku dan ….

Kang Ji Eun! Di mana dia? Aku tersentak. Jantungku berdetak begitu kencang, sebelum akhirnya gelombang kesadaran membawaku ke alam nyata.

Tak ada Ji Eun.  Mendadak tubuhku lemas. Mimpi buruk itu datang lagi. Aku mendengus pelan.

Hari masih gelap. Aku bisa melihatnya dari balik tirai jendela apartemen. Entah mengapa, rasanya aku telah tertidur lama sekali. Perlahan, aku turun dari tempat tidur. Kurentangkan kedua tangan, mencoba mengusir pegal pada punggung dan bahuku.

Getaran lembut dari ponsel di atas meja menarik perhatianku. Hm, siapa gerangan yang iseng menghubungi malam-malam begini?

Ji Eun? Aku terkesiap. Rasanya tak percaya nama itu muncul di layar ponselku. Telepati? Hah, impossible!

Benda mungil itu terus bergetar. Aku meraihnya, lalu menggeser tombol hijau yang berkedip-kedip di layar.

Yoboseyo,” sapaku pelan.

“Belum tidur?” Alih-alih menjawab sapaanku, laki-laki di seberang sana justru menanyakan mengapa aku masih terjaga.

Aku tertegun. Pertanyaan sepele dari Ji Eun barusan mungkin akan terdengar wajar bagi orang lain, tapi tidak bagiku.

“Turunlah. Kubawakan kopi untukmu,” ajaknya.

Aku terperanjat lalu berlari ke jendela. Kusibak tirai putih yang menutupinya. Di bawah sana, Ji Eun melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Sejak kapan kamu di situ?”

“Cepatlah, aku tunggu di sini. Oke?” Ji Eun kembali mengabaikan pertanyaanku dan menutup telepon.

Untuk sesaat aku termangu, tapi sebuah gejolak dalam diriku memaksaku bergerak. Aku mengambil sandal, lalu bergegas keluar. Kulewati selasar dengan cepat sambil menarik kerah baju hangatku hingga menutupi leher. Seoul sudah memasuki musim dingin, meski salju yang turun belum seberapa.

“Yoon-ah,” suara Ji Eun memanggilku.

“Kenapa malam-malam begini menggangguku?” sapaku ketus seraya memasang mimik sebal. Sengaja kurendahkan suara untuk menutupi getaran aneh dalam dadaku.

“Minumlah,” tawarnya sambil menyodorkan segelas kopi panas.

Gomawo,” ucapku sambil duduk di sampingnya. Kuhirup aroma kopi yang masih mengepul itu. Beberapa detik berlalu dalam sunyi.

“Yoon-ah,” suara Ji Eun memecah keheningan, “ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” lanjutnya. Kulihat kesungguhan dalam nada bicaranya. Aku menahan napas, berharap tak ada yang perlu dicemaskan.

“Aku, aku ingin berterima kasih kepadamu.”

“Aku? Untuk apa?” Mati-matian aku menetralkan suaraku. Ji Eun tak boleh melihatku gugup, “kita kan teman, kenapa harus berterima kasih segala sih?” lanjutku.

“Oh, i-iya benar. Kita, teman ya. Eh ….” Ji Eun terlihat kikuk.

“Aku ingin berpamitan,” suara Ji Eun pelan, “besok kan aku… eh, aigoo ….”

“Ji Eun-ah, besok hari bahagiamu, bukan? Kenapa kamu malah grogi?” tukasku menggodanya. Kutepuk bahunya yang kokoh. Ji Eun tersenyum tipis.

“Kita berteman selamanya. Janji?”

Kurasakan sentuhan lembut Ji Eun di bahuku. “Pasti, selamanya,” jawabku.

“Baiklah, aku senang mendengarnya. Sekarang aku harus  pergi,” pamitnya kemudian dengan wajah lega. Senyum tipis menghias wajahnya.

Aku termangu dalam temaram. Kuembuskan napas panjang, memberi waktu pada diriku sendiri untuk bangkit. Mataku terpejam saat Ji Eun memelukku untuk terakhir kalinya — sebagai teman. Aroma tubuhnya masih segar, sama seperti pertama kali kami berpelukan.

Waktu berlari begitu cepat. Rasanya baru kemarin kami berkenalan. Dan esok, dia akan menjadi milik Goon-ah, adik sepupuku.

Tiba-tiba hatiku perih.

 

***

Catatan:

  • Yoboseyo : salam yang diucapkan saat menerima telepon
  • Gomawo : terima kasih

Ini adalah  salah satu flash fiction yang saya buat di awal kisah petualangan menimba ilmu menulis fiksi sekitar tiga tahun lalu. Masih inget banget, waktu itu sampai nangis-nangis nulis fiksi, nggak tau musti gimana mendeskripsikan adegan yang ada dalam benak. Sampai nggak bisa tidur dan kemimpi-mimpi setiap kali ada tugas nulis hehehe. Ah, time really flies! 

Ntah kenapa saya kalau ngefiksi bawaannya mellow muluk. Mungkinkah itu takdir? Wkwkwkwk.. kutaktahu.. Nikmati saja tulisan-tulisan fiksi yang sejatinya adalah gambaran the other side of me ini ya!

bety kristianto