Pagi belum lagi panas saat saya bangun hari itu. Lebaran hari ketiga tahun ini, saya pengen menghabiskan waktu bersama keluarga. Nggak tahu kenapa, liburan panjang tahun ini sepertinya agak susah ngatur waktu. Bukan hanya karena saya harus menjaga ibu yang baru saja sembuh dari sakit beberapa waktu lalu, tapi jejeran angka di kalender bulan ini tampaknya juga kurang “menguntungkan” untuk dipakai jalan-jalan.

Beda dengan libur lebaran 2018 yang lalu, hari-hari libur pak bos lebih aturable, jadi kami sempet jalan-jalan ke banyak tempat. Mejeng di The Lost Castle, mantai di Gua Cemara, hiking ke Puncak Becici dan masih banyak lagi. Tahun ini, sampai lebaran hari ketiga ini rasanya kami nggak ke mana-mana. Lah emang nggak ke mana-mana ding hahaha. Tadinya pengen ke beberapa spot, eh ndilalah masih tutup. Mungkin karena emang masih bulan puasa. Jadi yaa.. gitu deh.

Nah, Jumat pekan kedua Juni 2019 ini saya sengaja bangun subuh, nyiapin sarapan dan tetek bengeknya buat orang rumah dan bersiap bangunin gerombolan si berat. Sesuai kesepakatan, pagi ini kami mau nyarap di Kopi Klotok. Hahaha… daripada diketawain, mendingan saya ketawa duluan deh. Perasaan saya ke sana muluk yak kalo mau ngopi?

Iyah! Ini adalah kali kesekian kami pengen ke sana. Tapi, ini juga adalah kesempatan pertama kami planning untuk nikmatin sarapan di pinggir sawah. Pasti asik kan, ngopi di tempat kek gitu. Kebetulan, Jogja juga lagi dingin.

Kabut tipis menemani perjalanan kami menuju jalan Kaliurang. Hm, sepertinya saya lagi beruntung. Beberapa tahun belakangan, sudah jarang banget kayaknya ada kabut di Jogja. Kali ini, asap tipis yang dingin itu menjejeri langkah kami sejak keluar rumah sampe di dekat tekape.

Baca juga : Menikmati Sunset di Goa Cemara

Waktu belum juga pukul 7 pagi saat mobil hitam kami memasuki kawasan Kopi Klotok. Sesuai informasi, katanya warung sederhana itu baru akan buka jam tujuh tepat. Oke, let’s see. Batin saya sambil nyengir plus nahan lapar.

Sekitar 300 meter menjelang pintu masuk Kopi Klotok, seorang petugas parkir mengarahkan mobil kami ke kanan. Sempat menolak, suami saya akhirnya mau nggak mau belok juga. Lha gimana, ternyata parkiran halaman mereka udah puenuuh pol! Maak! Ini baru juga mau jam 7 huhuhu… feeling saya udah jelek aja deh. Jangan-jangan udah mengular tuh antrian makannya.

Benar saja. Setelah jalan dari parkiran yang sekira 100 meteran, kami disambut sama antrian yang udah bak ular naga panjangnya, dari ujung rumah sampe halaman belakang! Hohoho, nggak perlu nunggu lama, saya langsung balik kanan dan cuss minggat pergi dari situ.

“Kita ke Kopi Bukan Luwak aja deh. Makanannya sama aja kan?” suami saya bilang sambil ngegendong Kevin ke arah parkiran. Saya sama si Kakak ngangguk-angguk. Langkah kami percepat menyibak kabut yang masih berhembus tipis-tipis.

Kopi Bukan Luwak terletak sekitar 200 meter dari Kopi Klotok, kalau dari jalan raya Jogja-Kaliurang, posisinya sebelum Kopi Klotok. Menurut karyawannya, owner kedua warung kopi ini sama, so nggak lari ke mana juga kan duitnya? Hehe…

 

 

Yang unik di Kopi Bukan Luwak

Selain menu ala ndeso yang emang ngangenin, di sini kita disuguhi pemandangan khas kampung yang jadoel. Di sana sini ada pernak pernik antik yang pastinya bikin kita inget sama rumah nenek jaman dahulu kala.

Dapur di warung ini juga didesain terbuka. Jadi pengunjung bisa bebas menyaksikan beberapa makanan yang lagi dimasak. Seperti dandang penanak nasi yang kompornya masih pake kayu bakar, mbak-mbak yang lagi goreng telur krispi atau tempe mendoan, dan membuat carabika. Unik ya? Kapan lagi anak-anak kota bisa ngelihat pemandangan kayak gini?

 

 

 

Berbeda dengan kakak seperguruannya, Kopi Bukan Luwak nggak menyajikan pemandangan sawah. Segabai gantinya, ada music corner, ayunan besar dan saung-saung yang sejuk. Beda sama di Kopi Klotok yang pengunjungnya harus ngampar pake tikar.

Mampir sini juga yuk :  Ngopi Nikmat di Pulen dan Kopi Ponti

 

 

 

Menu  

Meski sekilas mirip, menu yang ditawarkan di kedua tempat ini beda loh.

Kopi Klotok terkenal sama pisang goreng, jadah goreng, dan sayur lodehnya. Kalau masih pagi, di hari biasa terutama, kita bisa nemuin tempe garit, tahu bacem, dan ayam kampung goreng. Nah, di Kopi Bukan Luwak, kita disuguhi dengan mangut lele dan oseng bakmi pedas sebagai menu andalannya.

 

 

Untuk cemilannya, di sini kita bisa pilih mendoan sama carabika yang endeus. Sayang, pas ke sini kemarin pas lebaran, jadinya banyak menu yang masih kosong. Jadilah kami cuma makan pake lauk telur krispi, sayur asem dan sop. Foto di atas adalah penampakan carabika pas saya ke sana beberapa bulan kemarin.

Untuk pilihan minumnya sih standard. Ada teh anget, jeruk, jahe dan kopi. Saya sih udah pasti pilih kopi tubruk. Nikmat banget, ngopi pagi-pagi di tengah udara dingin dan kabut tipis yang mulai beranjak pergi.

 

 

So, buat temen-temen yang hobi ngopi, Kopi Bukan Luwak mungkin bisa jadi salah satu alternatif tempat nongkrong yang nyaman dan family friendly. Cobain aja!