Beberapa waktu terakhir, saya dan si Kakak sering terlibat perbincangan seru. Bahan obrolan kami cukup random, mulai dari makanan sehari-hari, sekolah, sampai drakor yang belakangan jadi pengobat stres dan bosan selama di rumah. Hahaha… iya, beneran! Si kakak lama-lama jadi suka ngedrakor juga kayak saya. Awalnya sih dia lebih suka nonton film-film action dan thriller di Netflix gitu. Tapi mungkin bosen juga ya nonton yang itu-itu aja genre-nya. Nah, jadilah dia iseng ikutan nonton drakor dan ujungnya suka juga.

Saya patut bersyukur, sebagai ibu tanpa anak wedok, nyatanya kedua jagoan di rumah cukup aktif bicara, bahkan di saat-saat tertentu mereka bisa bikin telinga saya capek mendengar segala jenis curhatan dan informasi yang mengalir dari mulut mereka. Jadi, meski di rumah cuma ada saya satu-satunya perempuan, dengan kelihaian mereka bercerita, saya jadi nggak merasa kesepian. Hehehe…

Secara teori, laki-laki memang ditakdirkan memiliki stok kata-kata yang jauh lebih sedikit ketimbang perempuan. Itulah sebabnya mereka cenderung pelit bercerita atau berkomentar kalau gak diminta, atau topik obrolannya nggak bikin mereka tertarik. Laki-laki bahkan punya “pitstop” tanpa kata di dalam otaknya. Dan ini membuat mereka pada suatu waktu bengong aja, bisa bermenit-menit bahkan itungan jam. Makanya saya bersyukur banget anak-anak di rumah selalu punya stok kata-kata buat emaknya. Hal ini bikin saya tetep hepi, meski “hanya” punya anak cowok aja.

Dari kebiasaan mengobrol ini juga, saya jadi lebih mengerti dunia remaja dan seluk beluknya. Saya jadi paham, apa aja sih yang mereka sukai dan gimana sih pola pikir mereka. Sekali lagi, saya cukup beruntung karena si Kakak ini cukup open dan mau bercerita banyak hal sama emaknya. Bahkan, yang bikin saya amazed, dia udah punya gambaran dan planning kehidupannya 5-10 tahun ke depan.

Pernah suatu kali saat kami sedang pergi bertiga, si kakak nyeletuk, “Mih itu mobilnya bagus ya.”

Saya mengangguk sambil melirik ke sebuah mobil hitam yang kebetulan berpapasan di jalan. “Tapi kegedean, Kak, kalau buat cewek. Mami suka sih modelnya, tapi nggak mau kalau disuruh nyetir mobil segede itu. Jiper duluan.”

“Nanti kalau punya istri, aku mau ah beliin yang kayak gitu.”

Saya cukup terkejut mendengar jawabannya itu, lalu berujar, “Kalau gitu, kamu harus sediain supir, kasian kalau istrimu nyetir sendiri, capek!”

“Iyalah, kalau emang dia mau pakai supir pasti aku kasih. Kalau dia mau nyetir sendiri ya nggak pa-pa Banyak loh Mi, cewek-cewek yang nggak keberatan nyetir mobil kayak gitu.”

Saya hanya mengangguk sambil manyun, membayangkan beberapa tahun ke depan pembicaraan kami ini jadi kenyataan. Rafael memang cukup proyektif untuk masa depan. Dia tak segan membicarakan tentang rencana masa depannya, keinginannya berbisnis, dan gimana antusiasnya dia ingin menghasilkan uang. Beberapa kali, dia juga membicarakan tentang hobi, passion, dan life skill yang dia pikir harus dia kuasai untuk mewujudkan mimpinya. Belakangan, dia juga “memaksa” saya belajar investasi dan mulai lebih disiplin membuat catatan keuangan. Jujur, saya rada malu juga sih. Soalnya selama ini saya emang omdo tentang yang satu ini, alias investasi dan financial things.

Meski pernah jadi kuli di sektor banking and card, nyatanya saya nggak lantas jadi pintar untuk urusan investasi masa depan dan gimana cara memulainya. Hakdess!! Sebuah tamparan keras buat makemak miskin ilmu kayak saya.

Setelah dibombardir berbulan-bulan sama si Kakak soal financial planning dan how to start investing, akhirnya pada suatu hari, saya pun dapat hidayah. Berbekal bujukan mautnya, saya setuju untuk nonton sebuah video dari seorang anak muda, belum 25 usianya, yang adalah seorang investor hebat. Dia bahkan udah nikmatin passive income dari usahanya itu, dan bisa beli rumah seharga 2,5M dari sana. Duh, ini tamparan telak berikutnya, yang kali ini tepat menohok jantung saya.

Lah gimana enggak? Di usia 25 tahun, saya dulu sibuk mikirin besok makan apa, anak bayi punya susu apa, dan bulan depan bayar kontrakan pakai apa. Huhuhu…

Tapi gimana pun masa lalu, saya tetap bersyukur atas semuanya. Dan kali ini saya pun tak henti bersyukur karena Rafael, di usianya yang baru aja masuk 16 tahun, udah punya wawasan yang lebih luar ketimbang emaknya di usia yang sama. Dia bahkan goes beyond my expectation soal banyak hal. Termasuk kemarin pas nyari sekolah lanjutan tingkat atas. Saya prefer di ke SMA, tapi dia keukeuh minta sekolah di SMK, karena passion-nya emang lebih banyak di bidang non-akademis. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan saya dan suami mengizinkannya. Dan dia membuktikan omongannya, untuk belajar serius di sekolah pilihannya sendiri.

Kini, dia kembali mengagetkan saya dengan beragam pola pikir yang one step ahead. Di saat temen-temen seusianya masih bingung bin galau mau jadi apa besok, dia udah punya planning apa aja yang dia mau kerjakan. Tanpa kami paksa, dia juga secara aktif meng-upgrade diri di bidang yang emang dia enjoy, seperti musik, video editing, designing, dan beragam hal lainnya. Kami sering dibuat amazed melihat kemampuannya di bidang tertentu, semisal musik, yang melesat jauh dari apa yang kami pikirkan.

Rafael juga mulai mengembangkan sayap “mencari uang” dari kemampuannya itu. Tentu saja, tujuan mencari uang di sini bukan untuk menghidupi dirinya tapi untuk melatih keberanian dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Sebagai orang tua, saya dan suami cukup bangga dengan progressnya sampai sejauh ini. Buat kami, bukan masalah seberapa besar uang yang dia hasilkan, melainkan seberapa besar pencapaiannya ini memengaruhi pertumbuhannya secara menyeluruh. Apakah dia hepi? Atau justru terbebani? Itu yang menjadi concern kami. So, yang kami lakukan selama ini adalah mengawasinya dari kejauhan, dan menjadi konsultan saat dibutuhkan. 😊

Diam-diam ada rasa yang nggak bisa saya jelasin saat menuliskan cerita ini. Betapa waktu sungguh cepat berlalu. Rasanya baru kemarin saya menimangnya, mengayunnya hingga terlelap, dan begadang hingga berhari-hari saat dia sakit. Sekarang, Rafael udah gede aja, dan sebentar lagi akan jadi mahasiswa. Duh, ke mana aja sih waktu ini berlari?

Emak-emak emang cengeng ya! Tiap kali ngomongin anak, pasti weh bawaannya baper. Apalagi keinget aja sama omongannya Rafael kayak gini, “Aku nggak pengen jauh-jauh dari mami sama papi. Kalaupun aku harus tinggal jauh dari kalian, aku nggak pengin lama-lama. Paling beberapa tahun aja, cukup. Trus maunya tinggal satu kota aja sama mami papi. Jadi sewaktu-waktu bisa ketemu.” Huaaa, langsung pengen mewek mamaknya ini.

Bener juga kata pepatah: Bagian terberat menjadi orang tua adalah melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, dan akhirnya pergi meninggalkannya.”

Ah tiba-tiba aja saya pengin waktu berputar kembali, saat anak-anak masih bebi, masih bisa dicium-cium, diusel-usel, dan digendong-gendong. Besok, mereka akan segera melesat seperti anak panah menuju takdirnya masing-masing. Kita, orang tua hanyalah busur yang mengarahkan mereka. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menjadi busur terbaik, busur yang kuat, yang bisa melesatkan mereka dengan kecepatan yang tepat dan arah yang benar menuju sasarannya.

 

bety kristianto