~ Anak-anak adalah kebanggaan setiap orangtua.

Mereka nggak hanya menjadi penerus keturunan,

tapi juga permata hati dan penyejuk jiwa ~

 

 

Lekat dengan peran itu, orangtua tentu saja diganjar dengan tugas dan tanggung jawab mendidik anak. Pada tahun-tahun awal kehidupan si kecil, biasanya nggak banyak masalah pengasuhan yang timbul. Namun seiring berjalannya waktu, kita pasti akan menemukan beberapa kendala.

Memasuki usia sekolah contohnya. Semua orangtua tentu pengin yang terbaik. Label sekolah unggulan, sekolah internasional dan lain-lain, sering kali menjadi pertimbangan penting dalam memilih sekolah, Harapannya sudah pasti agar anak mendapat pendidikan terbaik. Tapi,  terkadang beberapa orangtua salah kaprah menyikapi hal ini. Banyak lho yang memiliki persepsi bahwa tugas mendidik anak mulai bergeser. Mereka nggak lagi bertanggung jawab penuh pada pendidikan anak, tapi tugas ini dialihkan kepada  guru-guru di sekolah. Akibatnya, sering kali terjadi friksi dan kesalahpahaman di antara orangtua, guru, ataupun pihak ketiga.

Saya punya pengalaman tentang kejadian nggak mengenakkan sewaktu Rafael masih SD dulu. Jadi ceritanya, ada seorang anak yang “bandelnya” minta ampun. Hampir setiap hari ada aja teman yang dibuatnya menangis. Nggak sekedar mendorong atau mengganggu, si anak ajaib ini bahkan tega menjegal kaki temannya yang sedang berjalan, merobek buku ataupun menendang anak lain -bahkan tanpa alasan sekalipun. Nggak tanggung-tanggung, Moms, yang ditendang itu sering kali bagian-bagian vital seperti perut, dada ataupun kepala. Meski nggak kejadian sama Rafael, tetap saja saja saya prihatin dan miris menghadapi kenyataan ini.

Banyak kali, para orangtua murid lain mengadukan hal ini kepada pihak sekolah dan meminta pertanggungjawaban ortu si anak ajaib. Tapi -sepanjang yang saya tahu- ortu yang bersangkutan tidak banyak mengambil tindakan tegas pada anaknya. Mereka hanya datang, ngobrol sebentar, janji akan membuat si anak lebih behave, dan that’s it. Nyatanya, kelakuan si anak nggak berubah. Bahkan dia justru lebih bandel. Fiuuuhs…

Guru-guru di sekolah mulai kepayahan mengurusnya, dan entahlah bagaimana kelanjutan kisah ini, saya nggak sempat mengikutinya lagi karena keburu pindah ke Jogja.

Well, saya nggak bermaksud memberi label “bandel” pada si anak tadi. Jujur, rasanya sebel campur prihatin banget. Sayangnya, kasus-kasus seperti ini banyak kita jumpai di sekitar kita, bukan?

Saya percaya, pola-pola perilaku, karakter dan kepribadian anak terbentuk sejak awal saat dia masih dalam pengasuhan keluarga. Dalam kasus di atas, patut kita pertanyakan pola asuh seperti apa yang dia terima sampai berperilaku seperti ini. Apakah dia terbiasa melihat kekerasan dalam keluarga? Atau justru terlalu dimanjakan? Atau barangkali malah sering kali diabaikan sehingga butuh perhatian?

Ada banyak faktor tentunya dalam pembentukan karakter ini. Salah satunya adalah pola asuh pada anak.  Nggak hanya orangtua, anak tentu berinteraksi dengan nenek, kakek, guru dan orang lain. Interaksi sosial ini  memberi warna dalam proses tumbuh kembang anak. Pola-pola yang tidak terstruktur atau saling bertabrakan, bisa jadi membuat si anak bingung dan akhirnya menjadi ‘salah asuhan.’

Pola asuh diktator atau justru terlalu permisif, juga nggak baik untuk perkembangan anak. Nggak hanya itu, pengasuhan yang berat sebelah tentunya juga kurang baik. Misalnya nenek kakek yang terlalu ikut campur, pengasuh yang terlalu berkuasa, hingga ortu yang kurang peduli atau justru lebai dalam mengontrol anak, membawa pengaruh negatif bagi anak. Idealnya sih, semua pihak harus kompak dalam mengasuh anak.

Nah, berikut ini beberapa trik yang bisa kita pakai agar anak mendapatkan pola asuh yang baik. Cekidot ya Moms!

 

1. Kompak antara ayah dan ibu

 

Ini adalah hal yang paling utama. Modal terpenting dalam mendidik anak adalah kesehatian di antara ayah dan ibu. Kita bisa membuat perjanjian atau kesepakatan dengan suami tentang pola pendidikan pada buah hati. Saya punya kesepakatan dengan suami, kalau salah satu dari kami sedang mendisiplinkan anak, nggak boleh ada pihak yang membelanya. Pembelaan yang kita lakukan ini kelihatannya baik, tapi sebetulnya justru akan meruntuhkan wibawa orangtua di hadapan anak. Pada gilirannya, anak akan merasa bahwa dia nggak pernah salah karena selalu dibela. Ayah atau ibu hendaknya memberikan simpati, tapi bukan dalam bentuk pembelaan atau menyalahkan salah satu pihak yang sedang mendisiplinkan anak. Ada baiknya, orangtua yang tidak sedang mendisiplinkan anak memberi pengertian mengapa ayah atau ibu melakukan hal itu, tetapi setelah proses pendisiplinan selesai.

 

 

2. Kompak di antara orangtua dan nenek-kakek

 

Udah jadi rahasia umum kalau nenek dan kakek itu “lebih sayang” cucu ketimbang anaknya sendiri. Jadilah beberapa hal yang sama ortunya dilarang, eh giliran sama nenek kakeknya dibolehin.  Atau nggak, yang sering terjadi adalah ketika orangtua sedang mendisiplinkan anak, maka nenek atau kakek tampil sebagai pembelanya.

Hal ini cenderung kejadian pada pasangan yang tinggal seatap atau berdekatan dengan orangtua atau mertua. Nah untuk mengantisipasi terjadinya hal yang nggak diinginkan ini, sebaiknya kita bicarakan semuanya secara terbuka dengan orangtua ya, Moms. Libatkan suami dan jelaskan bagaimana cara kita mendidik anak-anak tanpa mengabaikan peran orangtua atau mertua. Dengan komunikasi yang baik, semuanya bisa teratasi kok. Meski nggak mudah sih. Curcol #ups hahahaha..

 

 

3. Kompak antara orangtua dan guru

 

Sebagai pihak yang menghabiskan banyak waktu dengan anakdi sekolah, guru memegang peran penting dalam membentuk kepribadian anak.  Kalau saya, suka cerewet sama gurunya anak-anak (terutama wali kelasnya). Caranya ya dengan minta waktu untuk ngobrol, menceritakan bagaimana karakter anak, kebiasaan mereka di rumah dan macem-macem.  Saya juga meminta kepadanya untuk memberikan laporan jika anak saya melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Misalnya suka melamun, murung, atau justru petakilan dan bikin ribut di kelas. Intinya, saya membangun hubungan dengan pihak sekolah.

 

 

4. Kompak di antara orangtua dan pengasuh atau ART

 

Kebanyakan orangtua bekerja memiliki pengasuh atau ART untuk berbagi tugas. Nah, agar tumbuh kembang anak terjaga dengan baik,  kita bisa menyediakan waktu berdiskusi dengan si asisten ini. Jelaskan bagaimana kita menginginkan anak-anak diperlakukan. Jangan biarkan pengasuh atau ART selalu menuruti keinginan anak. Selain itu, jelaskan pula sejauh mana dia boleh memberi “hukuman” jika anak membuat kesalahan. Tentukan pula kapan saatnya dia harus melapor seandainya anak melakukan hal-hal yang tidak diperkenankan.

Di lain sisi, kita juga sebaiknya mengajari anak untuk tidak “jahat” kepada pengasuhnya dan tetap menghargai kehadirannya di rumah. Dengan begitu, akan mengurangi risiko timbulnya masalah dengan pengasuh atau ART. Untuk mengantisipasi hal-hal yang nggak diinginkan, ada baiknya kita memasang CCTV di rumah. Hal ini akan sangat berguna jika diperlukan.

Hm, seru juga ya Moms, kalau semua pihak yang ada saling bersinergi dan memberikan dukungan yang tepat bagi anak-anak. Dengan hubungan yang baik di antara berbagai pihak yang terlibat, semoga generasi muda kita  bisa tumbuh menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat bagi banyak orang.

 

 

Happy smart parenting!