Review Novel Proviso – Awesome! Itulah yang pertama kali melintas di benak saya saat membaca baris demi baris novel Proviso karya Suzie Rain ini. Bukan Karena mentang-mentang doi sahabat saya. Tapi karena kalimat-kalimat yang dia tuliskan dalam setiap karyanya selalu membuat saya menganga, ndomblong sampe dower dan ngiler pengen bisa seperti itu.

Proviso bukanlah novel pertama Mak Encus (panggilan sayang saya sama dia). Sebelum ini saya udah nyelesaiin novel perdananya yang berjudul Senja di Pokhara. Sayangnya, waktu itu saya belum aktif ngeblog. Jadilah belum bikin book reviewnya hehe. Hampura!!

Ceritanya Mak Encus ini adalah salah satu penulis fiksi favorit saya, di samping tentunya beberapa artes eh penulis lain yang juga saya kenal cukup dekat dalam komunitas menulis fiksi. Aslinya, saya pernah juga mencoba menulis beberapa cerpen mini tapi ternyata nggak semudah itu, Fergusso! Dan pada akhirnya saya memantaskan diri sebegai penikmat fiksi saja dulu hehe.

Well, balik lagi ke novel Proviso ini. Awalnya saya sudah beberapa waktu enggak kontak sama penulis, hingga akhirnya saya lihat promo buku barunya ini di beranda facebook. Nggak pakai mikir, saya langsung cuss ikut first order dan bersiap menerima edisi teranyar buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini. Dan asli, nggak nyesel udah beli. Soalnya, isinya emang worth it banget.

Kuy langsung saja ya kita lanjut ke resensinya yah.

Review Novel Proviso 

Judul buku : Proviso

Penulis : Suzie Rain

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, tahun 2020

Tebal : 256 halaman

Ukuran : 13,5 x 20 cm

ISBN : 9786020643274

Proviso berangkat dari premis bahwa untuk menemukan tujuan hidup dan mewujudkan impian, kita hanya perlu mendengarkan kata hati, berjuang sepenuh hati, dan kerjakan yang terbaik. Tapi, jangan ngoyo dan tetaplah membumi.

Paling tidak, itulah yang saya maknai setelah membaca novel ini. Ajeng Bestari, tokoh utama novel ini, adalah seorang gadis yang tergila-gila pada kopi dan sangat ingin mewujudkan mimpinya memiliki coffee shop sendiri yang penuh filosofi. Dia begitu ingin menjadikan kopi sebagai aset berharga sekaligus pendulang rupiah yang akan menjadi sumber penghidupannya kelak saat dewasa.

Hal ini sangatlah wajar, mengingat sang ayah juga adalah seorang pecinta sekaligus pemilik perkebunan kopi yang sangat senior. Kiprahnya di panggung perkopian nasional tak perlu diragukan lagi. Dan sebagai anak tunggal, Ajeng merasa ingin membuktikan bahwa dirinya juga memiliki keahlian yang sama dengan sang ayah. Sayang, ambisi Ajeng ini terganjal restu sang ayah yang ingin putrinya fokus dulu pada pendidikannya, dan bukannya terjun ke dunia bisnis.

Namun, bukan kaum muda namanya kalau segampang itu menyerah. Ajeng pun diam-diam melatih diri dan mempelajari seluk beluk kopi sampai sedetil-detilnya, sembari tetap berusaha menyelesaikan kuliahnya. Nasib baik tampaknya berpihak padanya saat memenangkan sebuah kompetisi meracik kopi ala barista, dan mendapatkan pekerjaan paruh waktu pertamanya di sebuah kafe.

Di sinilah, kisah seru Ajeng dimulai. Tak hanya tentang dunia kerja dan ilmu kopi yang makin menantang, gadis asli Jawa yang diceritakan merantau di Bandung ini harus berurusan dengan cinta segi empat yang cukup rumit namun tetap asyik untuk dicerna. Hihihi kebayang nggak sih, cinta segitiga aja udah ambyar. Apalagi segiempat. Duh, mumet kwadrat judulnya. 😀

 

review novel proviso

Back cover novel

Yang Menarik dari Novel Proviso

Kepiawaian penulis dalam meracik kata, lengkap dengan alur dan setting yang begitu apik, membuat saya enggan beralih dari buku bersampul dominan cokelat ini. Yes, Mak Encus adalah salah satu penulis fiksi yang saya kagumi karena cara penuturannya yang kece, mengalir, dan indah.

Di beberapa bagian, saya ikut tersenyum. Di lain bab, tenggorokan saya tercekat dan tanpa terasa udah mewek sendirian di pojokan saat para tokoh terlibat dalam adegan yang emosional. Tak cuma karena emosi yang teraduk-aduk melihat kisah percintaan para tokohnya yang complicated, tapi juga kerna menyaksikan perjuangan Ajeng untuk memenangkan hati orang tuanya, kisahnya untuk bangkit dari kecelakaan yang merenggut sebagian memorinya, hingga tekadnya untuk mewujudkan impian terbesarnya memiliki coffee shop dengan kopi-kopi nusantara yang terbaik.

Salah satu bagian yang unik dan saya suka banget dari novel ini adalah setiap bab di dalamnya tertulis jenis-jenis kopi lengkap dengan karakteristik dan taste yang dimilikinya. Wuih, kebayang deh betapa mendalamnya riset dan eksplorasi yang dilakukan penulis saat menggarap novel ini. Kalau saya belum tentu sanggup deh pokoknya!

Kecintaan penulis pada kopi tampaknya menjadi salah satu alasan terbesarnya mengangkat tema kopi yang akhirnya membungkus keseluruhan cerita dengan sangat apik. Seorang Suzie Rain berhasil memantik kekaguman saya pada penguasaannya akan topik ini dengan begitu mempesona. Laiknya seorang peracik dan penikmat kopi profesional, Mak Encus mampu menghadirkan aroma dan rasa yang tepat pada setiap bab. Membuat saya berkali-kali tenggelam dalam kisah yang teranggit indah di sana.

Dipilihnya Bandung sebagai latar tempat dengan porsi terbanyak dalam novel ini, mau nggak mau juga membangkitkan kenangan lama saya pada kota itu. Hampir sepuluh tahun tinggal di Bandung, saya jadi berasa nostalgia dengan tempat-tempat dan atmosfer kota kembang yang legendaris itu. Mak Encus sungguh terlalu hahahaa…

Meski begitu, perempuan berkerudung ini juga mampu menghidupkan cerita di tengah indahnya Pattaya, eksotisme Bali dan kawah Ijen, hingga sejuknya lereng Sindoro.

Kesan Setelah Membaca Novel Proviso

Segala kesedihan dan keresahan bisa jadi hanyalah awal dari eksplorasi rasa baru. Brown dark coffee with milk adalah hasil akhirnya, kopi kesabaran. Karena tetes demi tetes setiap penantian akan terbayar lunas dalam segelas perjumpaan.

Ini adalah salah satu quote indah (di antara banyak quote lainnya) yang jadi favorit saya dalam novel ini. Entah kenapa rasanya pengen iya iya ajah, pas baca. Dan emang bener kan, terkadang hidup ini berasa nggak enak, nggak nyaman, tapi kalau kita bisa legowo, ikhlas, dan sabar ternyata akhirnya bisa saja bahagia.

Etapi, penasaran kan sama cerita Ajeng? Akankah ia berhasil mewujudkan mimpi terbesarnya dan membanggakan sang ayah? Bisakah ia keluar dari rumitnya cinta segi empat yang bikin kepala ngap-ngap? Ah, baca sendiri aja lahyaw!

Over all, saya sukak banget sama Proviso ini. Nggak hanya alur cerita, penokohan, dan setting-nya. Penyampaian masalah, klimaks, hingga anti klimaksnya top! Pemilihan font dan book paper dalam buku ini juga nilai plus buat saya. Meski harus nyelesaiin 256 halaman, mata saya enggak capek bahkan saat harus begadang sampe jam 2 pagi gegara penasaran sangad sama ending-nya.

Tapi mosok sih Mbak novel ini sempurna gituh? 

Well, nggak ada manusia yang sempurna. Sejatinya kesempurnaan hanyalah milik Allah. Tapi, entahlah, buat saya sepertinya agak sulit menuliskan kekurangan buku ini. Saya terhibur, tercengang, sekaligus deg-degan saat baca novel ini. Mungkin saja, kalau Mak Encus membeberkan sedikit lebih banyak profile keseharian Pak Danu, ayah Ajeng, dan bagaimana ia menjadi tokoh perkopian yang cukup femes, kisah ini akan makin nampol. Meski, kayak gini aja juga udah cukup sih. Seriusan!

Menulis review novel Proviso ini juga bikin saya hepi. Minimal saya jadi bersemangat untuk belajar lagi tentang nulis fiksi. Novel ini saya rekomendasikan buat kalian para young adult yang butuh bacaan ringan tapi sedikit berat, sarat makna, indah, tapi nggak ngebosenin. Kalau kalian pengen nyelesaiin novel tanpa kening berkerut, Proviso adalah salah satu pilihan yang tepat.

Gimana, makin penasaran? Buat kalian yang pengen punya buku ini juga, bisa langsung kontak di FB-nya Suzie Rain.

 

bety kristianto