Great is the art of beginning, but greater is the art of ending.

– Henry Wadsworth Longfellow –

Setiap orang pastinya punya idola. Well, kalaupun nggak bisa dibilang idola, ya weslah kita sebut orang yang disukai aja kali ya. Ada penyanyi, pelukis, guru, aktor, aktris, dan banyak lagi orang-orang yang kita sukai dalam semua segi kehidupan. Ada yang kesengsem sama keelokan wajah atau tubuhnya, ketrampilannya, karakternya dan masih banyak lagi. Terkadang, ada juga loh mereka-mereka yang antimainstream dan suka pada seseorang tanpa alasan. Seperti sama pacar gitu loh.

Nah, saya sendiri juga punya idola. Berhubung dunia saya nggak jauh-jauh dari seni, kebanyakan sosok yang saya sukai itu ya mereka-mereka yang berkecimpung di dunia ini dan menurut saya memiliki banyak kelebihan dibanding yang lain. Ada Song Hye Kyo dan Song Jong Ki di genre romantic drama, Christine Hakim dan Ari Wibowo di kancah film nasional, serta Mba Alberthiene Endah (AE) dan Mba Rosi Simamora di bidang tulis menulis. Ciyeee sok sokan manggil “Mba” macam akrab aja yes..

Salah satu alasan yang bikin saya suka tulisan-tulisannya AE adalah caranya menggambarkan (showing) cerita serta diksinya yang legit menggigit, membuat saya lumer dan nggak pengen berhenti saat membaca. Kemampuan sekelas itu juga ada pada Mba Rosi, yang sudah menerbitkan puluhan judul buku best seller.

Sebagai penulis pemula, tentu saya pengen banget bisa seperti mereka. Ya iyalah, siapa coba yang nggak mupeng liat karya-karyanya dipajang di rak “best seller” toko buku paporit sih? Ahai…

Tapi, saya sadar banget kalau semua itu butuh diperjuangkan. Karena itu, saya rela belajar dan menyediakan waktu serta tenaga dan pikiran untuk sampai di titik seperti mereka –meski saya sadar masih jauh nyampenya.

Adalah tahun 2016 yang menjadi momen terpenting dalam sejarah literasi hidup seorang emak rumahan bernama Bety Sulistyorini. Perempuan yang sedang galau luar biasa menghadapi kenyataan terkungkung di sangkar emas bernama rumah tangga. Pengalaman bersinggungan dengan baby blues syndrome dan ritme harian yang penuh dengan tugas-tugas domestik, membuatnya kelelahan secara fisik dan emosi. Jiwanya mulai sakit dan batinnya terluka.

Di tengah masa-masa sulit -yang oleh orang lain terlihat sepele- Bety menemukan ketenangan saat menulis. Menyampaikan ribuan kata yang tak terucapkan secara verbal, ternyata menjadi obat yang ajaib untuk menyembuhkan luka. Sejak itu, Bety aktif -lebih tepatnya agresif- menulis.

Itulah saya dulu. Perempuan rumahan yang super galau dan rapuh. Yang kalau diajak keluar rumah sama suaminya malah nangis dan marah-marah. Tapi giliran ditinggal di rumah pusing tujuh keliling. Perempuan yang (dulu) hobinya jalan-jalan dan nyalon, tapi berakhir di pojokan dapur beraroma bawang. Perempuan yang acap kali nangis tengah malam di atas setumpuk baju setrikaan.

Yes, it was me!

Tapi sejak 3 tahun terakhir, saya mendobrak jeruji dan tembok penghalang yang saya buat sendiri. Saya melepaskan sisi negatif yang dulu membelenggu diri dan memutuskan untuk menjadi kepompong yang sedang merajut sayap untuk bisa segera terbang lagi. Saya melahap banyak buku, bergabung dengan beragam komunitas menulis, mencari dan menyerap ilmu dari banyak orang penting dan memaksa diri untuk menulis.

Perlahan tapi pasti, citra diri saya pulih. Saya mulai bisa berdamai dengan keadaan dan tetap menjadikan aktivitas menulis sebagai cara untuk menjaga kewarasan sekaligus terhubung dengan dunia luar. Saya masih tetap menjadi ibu sepenuh waktu, tapi hasil pemikiran saya bisa melanglang buana, mengalahkan ruang dan waktu. Dengan menjadi penulis seperti ini, saya bisa bertemu dengan banyak orang dan berbagi banyak manfaat dengan perempuan-perempuan di luar sana.

Sampai hari ini, sudah ada 2 buku solo dan duet yang sudah saya tulis. Selain itu ada 25 buku antologi yang saya tulis bersama teman-teman sesama penulis perempuan. Nggak hanya itu, saya juga masih berjuang untuk menyelesaikan beberapa proyek menulis bersama lainnya, yang mudah-mudahan bisa segera bersua pembacanya.

Oya, buku duet terbaru saya barusan launching akhir tahun kemarin loh. Saya sudah menuliskannya di sini. Baca ya.. biar dapet feel-nya yang riuh.

Bangga rasanya kalau ada yang bilang, “Mba, tulisannya renyah, enak banget dibaca.”atau “Makasih Mba, tulisannya mencerahkan.”

Kalimat-kalimat itu membuat saya merasa berarti, bahwa saya masih “berguna” bagi orang lain. Dan itu menjadi bahan bakar saya untuk terus melangkah maju menuju puncak.

Dari pengalaman saya yang masih balita di dunia literasi ini, ada beberapa hal penting yang saya pelajari. Di antaranya adalah

Mentor

komunitas penulis

Saya percaya bahwa setiap orang memiliki talenta khusus. Saya menyebutnya bakat. Tapi, bakat saja nggak cukup untuk mengantarkan kita sampai ke titik puncak. Karena itu, kita harus berusaha dan mengembangkan bakat itu agar optimal. Di sinilah kita memerlukan yang namanya Mentor.

Saya lansir dari kbbi daring, kata mentor berarti pengasuh atau pembimbing. So… udah pasti orang yang menjadi mentor adalah mereka yang membimbing orang lain hingga mampu melakukan sesuatu dengan baik.

Seperti pada banyak hal lain, ketrampilan menulis juga nggak sepenuhnya muncul dari bakat semata. Kita perlu mentor untuk membimbing kita menuju “jalan yang benar”. Mengapa saya sebut demikian? Karena bagi menulis nggak sekadar merangkai kata. Menulis adalah cara saya menuangkan ide, gagasan, kreativitas, dan menyampaikan pendapat dengan cara yang estetik sehingga bisa menyentuh hati pembaca.

Komunitas

komunitas penulis

Selain mentor, hal kedua yang nggak kalah penting adalah masuk dalam komunitas yang membangun. Di jaman now ini, kesempatan untuk menemukan komunitas apa saja sangat terbuka. Namun, kembali lagi kita harus bisa menemukan komunitas positif yang akan membuat kita berkembang.

Dengan bergabung dalam komunitas penulis yang positif, kita bisa saling mendukung, berbagi informasi dan masukan positif. Semua itu pastinya akan sangat berguna dalam karier menulis kita. Dalam komunitas penulis ini juga biasanya ada banyak informasi, pelatihan hingga challenge yang bisa kita ikuti untuk memperkaya khasanah tulisan kita dari waktu ke waktu.

Senangnya, di era digital ini kita nggak perlu ke sana kemari. Kita bisa menemukan komunitas-komunita online yang nggak kalah bermanfaatnya dibanding komunitas offline. Hal ini tentu sangat berguna buat para mommies seperti saya yang terkadang terkendala untuk keluar rumah.

Pelatihan

Penulis perempuan

Selain memiliki mentor dan tergabung dalam komunitas penulis, ada satu hal penting lain yang sangat mendukung kinerja kita sebagai penulis. Yakni selalu rajin meng-upgrade diri. Hal ini bisa kita dapatkan lewat beragam pelatihan (training) menulis.

Seorang penulis sejatinya bukan hanya menuangkan ide, tapi juga senantiasa harus mengisi otaknya dengan hal-hal baru secara berkala. Bayangkan saja kalau penulis nggak pernah belajar hal-hal baru. Lalu apa yang akan dia tulis dari hari ke hari?

Saya pun demikian. Sadar akan kekurangan dan kelemahan diri, saya memaksa diri untuk terus belajar. Salah satunya adalah dengan mengikut beragam online  training tentang dunia kepenulisan.

Nah, salah satu lembaga training menulis yang sangat berjasa dalam karier menulis saya adalah Joeragan Artikel. Lembaga pelatihan online ini digawangi oleh Sri Kuswayati yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Ummi Aleeya. Sejak berdiri sekitar 3 tahun yang lalu, lembaga pelatihan ini telah meluluskan ratusan alumni dengan beragam spesifikasi keahlian menulis.

logo joeragan artikel

Saya berkenalan dengan Ummi, begitu saya menyebutnya, pada medio 2016. Waktu itu saya ikut basic training yang baru saja mulai beberapa bulan sebelumnya. Kalau nggak salah, saat itu saya tergabung dalam batch 5. Artinya, baru ada 5 kali training yang diadakan oleh Joeragan Artikel (JA).

Sebelum ikut training JA, saya baru beberapa kali ikut training menulis secara online di salah satu lembaga lin. Tapi jujur, di training tersebut saya kurang puas. Kenapa? Karena di sana saya hanya mendapatkan materi saja, sedangkan praktiknya nggak ada bimbingan langsung. Jadilah saya terombang-ambing dan kehilangan arah. *halaah*

Setelah itu, nggak sengaja saya mendapat info tentang trainingnya JA ini dari percakapan di sebuah WAG yang saya ikuti. Berbekal nama Ummi Aleeya, saya berburu di lebatnya belantara FB. Dan akhirnya bertemulah kami di dunia maya. Ternyata, meski belum sempet ketemu langsung, saya ngerasa klik sama perempuan berwajah teduh ini. Beliau komunikatif, hangat dan sangat welcome. Singkat cerita, bergabunglah saya dalam training pertama waktu itu yang membahas tentang pembuatan artikel dan kiat menembus media.

Jatuh Cinta Sama Joeragan Artikel

Sebenarnya saya ini ikut training nulis nggak cuma di JA aja. Ada beberapa training online yang saya jadi peserta juga. Tapi, entah kenapa hati saya sudah jatuh di JA. Ibarat pacar, JA ini adalah first love yang nggak akan terlupa. Dan ini adalah beberapa alasan yang bikin saya betah “pacaran” sama JA.

1. Materinya Kece

Penulis perempuan
Bagi saya, training itu ibarat mengosongkan gelas dan mengisinya kembali dengan air yang baru, yang segar dan menyehatkan. Nggak hanya untuk otak, tapi sehat juga untuk tulisan-tulisan saya berikutnya. Nah, di JA itu materi-materi training-nya super kece. Bayangin aja, saya yang penulis bonek ini jadi bisa ngerangkai kalimat-kalimat indah yang renyah bak kripik seblak Ma’Icih itu. Belum lagi kiat-kiat nulis dan informasi berharga seputar dunia menulis lainnya yang nggak pelit dibagikan.

Ssst, cuma di JA loh training pertama saya yang full materi. Gimana nggak full Moms, saat itu saya hanya ikut training bagaimana cara menulis dan menembus media, eh dapet tambahan bonus materi tentang google adsense dan gimana cara nge-bid di situs-situs pemberi kerja bagi freelancer. Dudududu… ibarat shopping, itu mah super sale judulnya, yippiie!!! *simboksuperpuas*

Udah gitu, belakangan makin ke sini training-trainingnya JA juga makin variatif. Kalau dulu lebih banyak membahas tentang dunia nonfiksi, sekarang udah buanyaaak banget training yang ditawarkan. Sebut saja Fiksi Mini, Kelas Staus Cantik, Reportase, hingga Product Review dan Menulis Skenario. Haiyaaa… gimana, gimana, bikin ngiler kan?

Senengnya lagi, JA juga banyak memberikan kesempatan bagi alumninya untuk membukukan karya menjadi buku antologi yang OK. Biasanya, beberapa kelas training kemudian dibuatkan buku antologi, meski nggak selalu juga sih. Maksudnya, ada beberapa training yang akhirnya menuju pada pembuatan buku antologi. Contohnya kelas Puisi dan Travel Writing yang saya ikuti dulu, kini sudah membuahkan hasil karya yang bisa dinikmati oleh pembaca.

2. Ada Pendampingan Langsung

Penulis perempuan

Ini nih yang paling nancep di hati saya. Sebagai penulis pemula yang sering banget galau, Ummi Aleeya dan para mentor kece selalu siap sedia memberikan pendampingan segera setelah training selesai. Artinya, semua peserta akan diminta praktik langsung dan diberikan arahan, input, dan kritik yang membangun supaya materi yang sudah disampaikan bisa makin dipahami.

Coba deh cari di tempat lain, ada berapa banyak trainer yang mau ngelakuin kayak gini?

3. Harga Terjangkau

harga training menulis

Buat mamak-mamak ngirit macam saya, semua hal yang berbau ekonomis itu selalu dicari. Ini berlaku juga untuk saya. Yang bikin hepi, JA itu tahu banget kebutuhan mak emak. Buktinya, training di JA nggak akan bikin kantong bolong. Sekali ikutan training, kita nggak akan ngabisin uang belanja setengah bulan loh. Catet!

Emang sih ada beberapa training yang agak berat, tapi itu sesuai dengan materi yang diberikan. Untuk kelas-kelas lainnya, kita masih bisa jajan ilmu seharga 50-300 ribuan. Worth it banget lah menurut saya. Yekannn?

4. Mentor-mentornya Kece

buku great mom strong son bety kristianto1

Di JA, para mentor yang kece akan membimbing kita menyerap ilmu. Adaaa aja informasi yang bikin kita ternganga dan bilang, “Oh kayak gitu ya, oke-oke..”

Seiring makin ramainya peserta, kini Ummi Aleeya dibantu oleh banyak staf JA yang andal dan kece abis. Dan yang paling cihui adalah mereka nggak pelit ilmu. Selain itu, rata-rata mentor-mentornya JA itu komunikatif dan supel. Jarang ada yang sengak macam saya hahaha.. duh, kalau saya mah bisa dibilang mentor lada kali ya saking bawelnya. LOL

5. Persaudaraannya Kental

Penulis perempuan

Ini juga salah satu hal yang bikin saya makin betah dan susah move on dari JA. Meski sudah lulus dari kelas, para peserta selalu ada kesempatan untuk tetap terhubung dalam wadah bernama Alumni JA. Biasanya, kami disatukan dalam wadah alumni berdasarkan training yang sudah diikuti. Nah di sana, kami saling berbagi informasi seputar dunia literasi, termasuk info lomba, bedah buku, event, job menulis, dan lain-lain. Jadi, di JA mah nggak beli putus deh. Meski udah nggak ikut training, kami masih saling berbagi banyak hal.

Berkat JA juga, kini saya nggak hanya menulis buku tapi juga berani merambah dunia blogging, menjadi influencer, dan mencoba banyak hal baru di dunia menulis. Termasuk menjadi editor dan menulis biografi bagi klien penting.

Kesuksesan memang harus terus diperjuangkan. Saya nggak akan berhenti sampai di sini. Masih ada banyak hal yang ingin saya ukir. Kelak, saya ingin semua tulisan, pemikiran dan cerita saya tersimpan manis dalam kenangan banyak orang. Saya ingin mengukir sejarah yang manis di atas langit bernama “Keabadian”.

Terima kasih teramat dalam untuk Ummi Aleeya, semua mentor Joeragan Artikel, teman-teman sesama penulis dan tentunya teman-teman yang sudah merelakan waktunya untuk membaca tulisan-tulisan saya. Karena kalianlah saya bisa berada di sini. Sukses terus untuk kita semua, dan jangan lupa ya.. untuk kalian yang ingin seperti saya, join the JA club, tempat yang paling tepat untuk bertumbuh menjadi penulis profesional.

Buat yang masih kepo tentang Joeragan Artikel, kuy.. intip aja ke kontaknya di sini ya.

Facebook : Ummi Aleeya
Instagram: @joeragan_artikel

Salam Literasi!