Dengar laraku… Sluruh hati ini memanggil namamu… Karna separuh aku, dirimu…

Geletar halus merayapi kulit, membuat pelupuk mata saya berembun. Suara Ariel mengalun pelan memasuki gendang telinga, menembus batin saya. Entah berapa kalipun saya mendengarkannya, perasaan haru yang begitu kuat selalu menyeruak sanubari dan membuat saya merinding.

Saya percaya setiap kita memiliki pasangan jiwa. Entah itu kekasih hati, sahabat, saudara terdekat atau siapapun yang mampu membuat hidup kita lebih hidup. Yang tanpanya, separuh jiwa kita seakan hilang. Yang bersamanya kita selalu bisa tersenyum di tengah segala keadaan.

Ya, orang seperti itu. Satu di antara milyaran manusia di bumi ini. Dia yang tanpanya lentera jiwa kita redup tak bercahaya.

Beberapa hari terakhir, hampir semua orang Indonesia -dan mungkin juga masyarakat dunia- membicarakan tentang kepergian Ibu Ani Yudhoyono, mantan ibu negara yang pernah menjadi sosok yang paling dihormati di negeri ini. Kepulangannya ke rumah abadi ini tentu membawa kisah tersendiri. Diagnosa leukimia yang rasanya baru saja kita dengar, merenggut jiwanya begitu cepat. Dalam hitungan bulan, dalam sebuah perjuangan yang saya yakin begitu berat dan hebat, perempuan yang selalu terlihat lemah lembut itu akhirnya menyerah pada takdir dan kembali kepada Sang Khalik.

Kepergiannya yang begitu cepat ini menyisakan duka yang mendalam pada keluarganya, terutama sang suami, Bapak SBY. Jujur, setiap melihat berita di medsos atau di tivi, air mata masih membuat dada saya sesak. Di mata saya, sosok SBY -sang jenderal yang seharusnya seterong- tampak begitu terpuruk dan hancur.

Di hadapan sorotan kamera dan ribuan pasang mata yang mengamati, memberikan ucapan belasungkawa, dukacita, sekaligus menguatkan, SBY mencoba untuk tegar. Tapi saya tahu jauh di dalam sana, hatinya hancur luluh. Mungkin, beliau hanya tampak terisak sambil sesekali menahan air mata yang siap menghancurkan dinding pertahanannya. Namun, siapa yang bisa menjamin, saat di kamar pribadinya, ketika hanya ada beliau dan anak-anaknya, SBY menumpahkan tangisnya? Melolong histeris? Meratap sambil berharap semua ini hanya mimpi?

Siapa yang bisa menjamin semua itu tak terjadi?

Selama prosesi pemakaman, BJ Habibie duduk tepat di sampingnya. Sorot mata dan air mukanya terlihat begitu penuh empati. Saya yakin, eyang Habibie punya alasan yang sangat kuat atas ekspresinya itu.

He’s been there! He absolutely understands the sorrow.

Bagaimana hancur dan pecahnya jiwa SBY saat ini. Dia pernah merasakannya, dan hingga saat ini mungkin masih merindukan sosok Ainun, perempuan yang begitu dicintainya. Mungkin eyang Habibie merasa de javu, seakan kembali lagi ke peristiwa serupa beberapa tahun yang lalu, saat kekasih hatinya berpulang ke surga.

Bahkan -menurut merita yang saya tahu dari tivi- sampai detik ini, eyang Habibie masih setia mengunjungi makam ibu Ainun. Setiap minggu, dua kali beliau nyekar dan “berbincang” dengan belahan jiwanya itu. Tak pernah sekalipun beliau melewatkan jadwal pribadinya. Bahkan di tengah hujan, panas ataupun angin yang kencang, eyang Habibie akan selalu memenuhi janjinya untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhis istrinya itu. Ah.. meleleh deh ….

Lalu, saya teringat akan sebuah buku based on true story karya Alberthiene Endah berjudul “Cahaya di Penjuru Hati (CdPH)”. Kisah tentang Pak Gondowijoyo yang begitu berduka ditinggalkan Lili, istrinya, begitu membekas di hati saya. Ada banyak nilai-nilai moral yang sarat makna di dalamnya. Betapa laki-laki membutuhkan cinta yang begitu kuat dari perempuan yang sangat berharga.

Laki-laki akan menangis sepanjang zaman untuk cinta sejatinya yang pergi. Air matanya ada di setiap detik kehidupan yang mengalir. Laki-laki akan runtuh dan tak mampu menemukan kembali pijakannya ketika ia kehilangan seseorang yang paling dicintainya. Tonggak yang menegakkan keberanian untuk menantang dunia akan menyerpih dan luruh, menjatuhkan segala yang semula kokoh. Kau tahu apa yang paling menikam hati laki-laki? Bila cinta sejatinya pergi.

Itulah penggalan kalimat-kalimat yang begitu penuh makna dalam buku karangan Mba AE itu. Saya percaya kalian yang sedang membaca tulisan ini mengamininya.

Kehilangan seseorang yang kita cintai dan mencintai kita itu ibarat kehilangan separuh nyawa, setengah jiwa, dan sebagian napas. Itulah kenapa ada banyak pasangan yang begitu ditinggal sama kekasih hatinya, kemudian menyusul pergi tak berapa lama kemudian. Mereka yang bisa bertahan untuk waktu yang lama, harus berjuang keras melewati koridor gelap nan panjang dan sunyi bernama perkabungan. Masa-masa penuh air mata, doa-doa yang panjang dan jiwa yang seakan tak genap lagi.

Laki-laki yang kehilangan cinta sejatinya, mungkin akan terlihat gagah dan kuat di luar. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada lobang besar yang menganga dan tak ada yang bisa menutupnya kembali untuk waktu yang lama.

Dalam hal ini, saya punya pengalaman nyata dengan pemeran utama dalam buku CdPH di atas. Kebetulan saya kenal Wim alias Bapak Gondowijoyo beserta keluarganya. Saya tahu persis apa yang ditulis dalam buku itu, betapa semuanya itu nyata, tak ada yang dibuat-buat dan dikarang-karang sama mba AE. Well, oke, mungkin ada sedikit bumbu dramatisir di sana sini, tapi maksud saya semua kejadian utama yang diceritakan itu adalah fakta.

Saya bahkan selalu menangis saat membaca ulang kisah cinta yang begitu indah itu. Jangankan masuk pertengahan cerita. Baru halaman 2 bagian prolog saja mata dan hidung saya udah basah. Saya tahu bagaimana Wim berjuang melawan dukacita yang begitu dalam dan panjang. Bagaimana anak-anaknya mencoba untuk tabah dan terus menjalani hidup selepas kepergian mami mereka. Saya selalu menitikkan air mata saat upacara peringatan meninggalnya Bu Lili diadakan. Ya, setelah 5 tahun sejak kepergiannya, hati saya masih bergetar mengingat sosoknya yang luar biasa.

Itu aja saya, orang yang bukan siapa-siapanya Bu Lili. Apalagi suami dan keluarganya. Kebayang kan, bagaimana mereka meneruskan hidup dan melalui banyak hal berat. Saya yakin mereka harus bergandeng tangan, saling menguatkan, dan mungkin ada saat-saat mereka akan bergantian berkata, “Kita harus kuat, kita pasti bisa” di saat mereka sendiri hendak jatuh.

Sekarang, hal yang sama tengah dilalui oleh keluarga bapak SBY. Kepergian Memo tentu akan membuat segalanya tak pernah sama lagi. Tempat Memo tak akan pernah tergantikan oleh siapapun, sampai kapanpun. Dan mereka harus menata hati sedemikian rupa untuk bisa tetap teguh berdiri, menjalani hidup dan mewujudkan mimpi-mimpi yang belum terlaksana.

Saat masa perkabungan, ada begitu banyak orang datang. Begitu banyak penghiburan dan penguatan yang ditujukan kepada pihak keluarga yang tengah berduka. Simpati, empati, kata-kata hangat yang menguatkan jiwa pasti akan terus memenuhi rumah mereka untuk beberapa waktu ke depan. Tapi… kehampaan yang mereka rasakan, kekosongan yang hanya bisa diisi oleh sosok Memo, tak akan dengan mudah mereka tafikan.

Pak SBY harus mulai membiasakan diri pulang ke rumah yang kosong, tak ada lagi sosok Ibu Ani yang menunggunya atau menyertainya di samping. Dia harus membiasakan dirinya terlelap tanpa kehangatan napas Ibu Ani yang selama ini menemaninya. Dia musti terbiasa dengan lembaran hidup yang sama sekali baru. Lembaran yang mungkin saja akan terasa jauh lebih sunyi dan dingin, yang akan berisi ribuan kenangan akan sosok istrinya.

Kehilangan akan selalu menjadi kidung duka yang tak berujung. Langit mungkin akan tetap jernih, udara tetap segar dan bintang-bintang akan tetap berkelip di kubah langit. Tapi, sekali lagi, semua tak akan pernah sama lagi. Dan semoga Pak SBY yang kali ini tengah diuji, diberi kekuatan untuk melewatinya dan tetap tegar melangka.

Cinta sejati tak lumat ditelan kematian. Cinta sekati tak akan mati ditelan waktu. Dia akan melekat dalam dirimu seumur hidup, dia hadir di setiap langkahmu, menyusupi setiap embusan napasmu dan merasuk hingga ke tulang-tulangmu. Kau memang kehilangan wujudnya, tapi dia tak pernah pergi. Dia hanya berganti rupa. Kau akan tetap merasakan kekuatannya, kehangatannya, dan energinya yang memeluk jiwamu, bersehati dengan pikiranmu. Dan begitulah, kau akan tetap memilikinya, dan mencumbunya dalam kenangan yang abadi.

 

 

– Sebuah perenungan yang mendalam, akan arti cinta sejati –

Jogja, 4 Juni 2019