Bagian terberat setelah perpisahan itu bukan lagi tentang kehilangan. Tapi berdamai dengan memori yang akan selalu membekas di hati. Kenangan-kenangan serupa serpihan kecil yang melayang, bersembunyi di balik lorong waktu dan bisa kembali kapan saja.

 

Butuh waktu panjang sebelum akhirnya saya bisa menulis (lagi) tentang sebuah kisah yang sangat personal, memorable, dan very heart touching ini. Ya, saya akui saya mungkin terlalu melow, sedikit menye-menye, dan mungkin buat sebagian orang agak lebai. Tapi, kalau sudah berurusan dengan hati, siapa yang bisa mengaturnya?

Buat saya, perpisahan adalah sebuah hal yang selalu menyakitkan. Entah itu dipersiapkan atau mendadak, perpisahan nggak pernah menyenangkan. Terlebih jika kita harus berpisah selamanya.

Selamanya? Ya, selamanya!

Dulu, saya nggak pernah semelow ini saat harus berpisah dengan uti, kakung, bude, bulik, dan siapapun yang berpulang duluan. Tapi, ditinggalkan ibuk untuk selamanya benar-benar meluluhlantakkan pertahanan dan menghabiskan stok air mata –well, sebenernya nggak sih. Air mata saya masih sering luruh tanpa bisa ditahan, saat teringat almarhum ibu.

Menulis ini juga sebenernya udah pengen banget saya lakukan beberapa hari sejak ibu tiada. Tapi nyatanya saya nggak pernah sanggup melakukannya. Setiap kali duduk di depan laptop, saya mewek tersedu bermenit-menit, lalu kehilangan mood lagi untuk nulis. Bahkan hanya untuk menulis status di medsos saja, air mata saya langsung membanjir lagi.

Sampai akhirnya, hari ini, setelah hampir 40 hari ibu berpulang, saya punya kekuatan untuk menghadapi laptop lagi dan mulai menulis. Kalau kalian yang berteman dengan saya di Facebook, Whatsapp ataupun Instagram, mungkin sudah pernah membaca sekilas tentang kepergian ibu saya tempo hari. Tak mengapa, kali ini saya akan menuliskannya dengan lebih rinci. Bukan untuk menarik simpati, tapi untuk memahat kenangan buat diri saya sendiri. Suatu hari nanti, otak saya pasti akan kehilangan kekuatan untuk mengingatnya dengan tepat. Dan saya harap, kelak tulisan ini akan menjadi prasasti yang masih bisa saya baca dan resapi.

So, this is how the story goes…

Jogja, 5 September 2020

Pagi itu saya terbangun dan bersiap untuk memasak. Seperti biasa, saya selalu menengok kamar ibu yang berada tepat di sebelah dapur, sekedar mencari tahu apakah beliau sudah bangun atau belum. Pagi itu, ibu mengeluh sakit kepala dan sulit melek, padahal beliau sudah berencana untuk pulang ke Wonosari, kampung halaman kami yang berjarak sekitar 40 km dari rumah yang kami tempati. Melihat kondisinya, saya sempat berujar agar ibu membatalkan rencana pulang hari itu, dan beristirahat saja di rumah. Entah mengapa, pagi itu ibu menolak dan keukeuh pengen pulang. Saya yang nggak puya firasat apa-apa akhirnya mengalah setelah dua kali saran saya ditolak oleh ibu. Pikir saya, yowes nggak papa, wong pengennya begitu.

Waktu berlalu dengan cepat, kami habiskan pagi itu dengan obrolan ringan ini dan itu, sarapan kudapan dan minum teh hangat yang nikmat. Ibu tampak ceria dan melontarkan beberapa candaan pada bapak dan berbincang dengan Si Kakak. Nothing went wrong.

Surat cinta untuk ibu

Ilustrasi yang saya buat tentang pagi terakhir bersama ibu.

Menjelang pukul 9 pagi, saya selesai mandi dan beberes, ibu sudah siap dengan dandanan lengkap hendak berangkat. Memang, waktu itu wajahnya terlihat agak pucat tapi beliau tetap menolak saran saya untuk tinggal di rumah saja.

“Ora popo. Biasanya yo rodo sesek, to? Mengko rak ilang dewe. Wes ibu tak mangkat yo, Nduk,” tuturnya dalam bahasa Jawa yang medok. Artinya kira-kira “Enggak papa, biasanya juga sesek dikit, nanti juga ilang sendiri. Udah, ibu berangkat ya, Nduk.”

Saya menurut, lalu memanggil anak-anak dan suami -yang kebetulan tengah cuti- untuk turun dan bersalaman dengan titinya (panggilan sayang anak-anak untuk eyang putrinya). Setelah kami semua cium tangan dan pipi, saya membimbing ibu untuk menuju ke mobil yang telah siap di teras. Bapak sudah stand by di sana. Saya memegang tangan ibu, melingkarkan tangan satu lagi di pinggangnya, dan berpesan agar ibu tidak kecapekan selama di Wonosari nanti. Tak lama, kami sampai di mobil, saya rapikan kaki beliau, si papi memasangkan seat belt, lalu menutup pintu mobil sebelum mereka berlalu dan lambaian tangan kami berakhir.

Sungguh tak ada firasat apapun sampai detik itu berlalu. Menit demi menit bergulir, hingga sekitar pukul 12.30 saat saya tengah chatting dengan beberapa orang dan menyelesaikan naskah buku, sebuah deringan telepon menghentikan aktivitas saya. Bapak saya menghubungi seperti biasa. Tapi entah kenapa sambungan telepon kali itu terasa aneh. Dengan tergesa bapak menyuruh saya untuk menyusul beliau di sebuah rumah sakit, dengan alasan ibu saya masuk UGD.

Deg! Jantung saya langsung melompat. What happened? Sebelum saya sempat berganti baju, bapak menelpon lagi sambil nangis. “Tolong bawakan baju ibu yang bagus ya… yang pernah dipesen mau dipakai kalau meninggal.”

Dengan kalut saya memanggil bapak, tapi tak ada kata yang keluar selain raungan yang lebih mirip lolongan di siang bolong. Ponsel saya entah jatuh di mana. Yang saya ingat hanyalah suara bapak yang terakhir mengabarkan kepergian ibu. Seketika tangisan saya tak terhentikan lagi hingga bermenit-menit kemudian. Tenggorokan saya begitu sakit, wajah saya bersimbah air mata dan dada saya rasanya seperti ingin meledak. Tapi sungguh saya nggak punya daya untuk berhenti.

Aku belum sempet minta maaaaf… Ibu pergi nggak pamit-pamit! Besok kita mau jalan-jalan, Bu. Kita mau jajan es buah seperti yang engkau mau, naik mobil keliling kota dan bersenang-senang. Besok siang, bu… besok.. seperti yang aku janjikan. Raung saya berkali-kali.

 Ibu wes tindak. Ibu sudah pergi. Nggak akan kembali lagi.

Selamanya.

Itu yang terus terngiang di kepala saya, membuat saya pening dan kehilangan tenaga. God, rasanya masih nggak bisa percaya. Beberapa jam yang lalu saya masih menggandeng tangannya, berbincang dengannya, bercanda dan mencium pipinya. Dan sekarang, lelucon apa pula yang tengah saya hadapi? Mimpikah saya? Saya gigit bibir bawah saya yang terasa sakit.

Sepanjang perjalanan pulang ke Wonosari, air mata kami terus meleleh. Entah siapa yang menguatkan siapa, kami tak tahu lagi. Saya, Rafael dan papi bergantian menangis dan bergantian pula saling menguatkan. Detik-detik berlalu dalam kesedihan yang mendalam. Ingin rasanya kami terbang dan secepat mungkin sampai di RS tempat jasad ibu dibaringkan.

Jasad.

God, saya kembali menangis. Beginikah rasanya ditinggalkan orang terkasih? Tadi pagi saya masih menyebutnya Ibu, dan sekarang saya harus memanggilnya dengan embel-embel “Almarhumah” … Ah, dada saya kembali sesak.

Kalau saja…

Yah, kalau saja saya tahu pagi tadi adalah kesempatan terakhir saya berbakti pada ibu, saya akan mencium kakinya, memohon ampunan dan maaf atas segala khilaf dan salah selama ini. Andai saja saya tahu beliau akan pergi, saya akan memeluknya erat dan mengikutinya pergi bersama bapak. Andai saja… ah… banyak andai-andai dala benak saya yang terus berputar tanpa ada jawaban.

Pukul 4 sore saya sampai di RS, menemui ibu dalam tidur panjangnya yang damai. Tangisan saya pecah di pelukan bapak yang juga menangis lagi. Ibu begitu tenang dalam tidurnya. Segaris senyum menghias wajahnya. Saya tak tahan untuk tidak memeluknya. Dan itulah yang saya lakukan terakhir. Mencium keningnya, membelai wajahnya, memegang tangannya yang kaku dan dingin.

Surat cinta untuk ibu

Ibuuuu…. dalam hening engkau pergi seperti ini. Meninggalkan kami semua dalam keterkejutan yang sangat. Tak ada pesan, tak ada wasiat, dan tanpa firasat. Bahkan engkau pergi dalam kondisi yang tidak sedang dirawat seperti tahun kemarin. Engkau pergi begitu cepat dan mendadak. Bahkan belum sempat bertemu anak lanangmu seperti yang engkau impi-impikan selama ini.

Ingatan saya melayang cepat pada perbincangan kami beberapa waktu yang lalu. Ibu ingin meninggal di rumah Wonosari, nggak nyusahin dan nggak ngerepotin banyak orang. Tapi saya nggak pernah menyangka semuanya akan terjadi seperti ini.

Bu… keinginanmu sudah terpenuhi. Engkau pergi tanpa merepotkan siapapun. Tidak dalam kamar perawatan seperti yang engkau takutkan selama ini, tidak juga dalam kondisi badanmu dipasangi alat-alat medis yang menyakitkan. Engkau pergi dalam pelukan dan pangkuan bapak, sesaat setelah engkau sampai di rumah, di atas pembaringan kesayangan yang telah menghangatkanmu selama berpuluh tahun.

Tangisan kami mengiringi kepergianmu ke pangkuan Bapa yang kekal. Wangi bunga semerbak di dalam peti, mengantarkanmu sampai di liang lahat. Begitu banyak orang yang mengantarkanmu malam itu menuju peristirahatan terakhir. Dalam gelap, hening dan dingin engkau dimakamkan. Namamu disebut dalam doa setiap orang yang menemani kami semua malam itu. Lantunan pujian yang agung dan syahdu mengiringi prosesi pemakaman sampai semua selesai.

Kini, tanah tempatmu terbaring selamanya telah tertutup sempurna. Tak ada lagi wajahmu, tubuhmu dan suaramu yang menemani kami setiap hari. Hanya kenangan dan memori yang akan terus terpatri selamanya di sini. Di hati kami.

Surat cinta untuk ibu

Menjalani hari-hari tanpa kehadiran ibu sungguh bukan sebuah hal yang mudah. Kami berjalan dari hari ke hari dengan kesedihan yang sebetulnya masih ada, menempel dan menyusup di setiap helaan napas, menyempil di ingatan dan terkadang berkelebat begitu saja. Rumah terasa dingin dan sepi, makanan kami terasa hambar dan saya lebih sering menangis saat sendirian. Malam-malam yang panjang, dapur yang kosong, dan baju-baju alamarhumah yang masih betebaran di sana sini, membuat ingatan tentangnya tak mudah pergi.

Saya tahu, waktu akan mengobati luka ini, tapi saya tak ingin tergesa. Saya butuh proses untuk menikmati luka, memahami setiap kejadian dan menerimanya dengan ikhlas tanpa banyak bertanya dan berandai-andai lagi. Karena itu, saya membiarkan mata saya basah pada beberapa kesempatan. Saya melegakan diri saya dalam beberapa menit yang menyakitkan, jauh dari anak-anak. Saya butuh waktu untuk sendiri dan melantunkan doa pengobat rindu pada ibu.

Dan kini, setelah hampir 40 hari sejak ibu pergi saya mulai bisa menata hati, meredam emosi dan tangis yang selama ini menyesakkan dada. Saya tahu, hidup harus tetap berlanjut. Mereka yang berpulang akan selamanya dikenang, dan saya ingin kenangan tentang ibu adalah kenangan yang indah.

Selamat jalan ya Bu. Kami yakin engkau sudah tenang di rumah barumu, rumah yang kekal dan indah. Di mana tak ada lagi rasa sakit, cemas, dan takut. Engkau sudah sembuh sempurna sekarang, nggak perlu minum obat lagi. Kakimu sudah ringan, engkau bisa berjalan, berlari dan bahkan menari di surga-Nya nan indah.

Terima kasih untuk teladan iman dan kasih sayang yang seumur hidup engkau curahkan. Terima kasih sudah melahirkan dan membesarkanku. Terima kasih sudah menjadi ibu terbaik untukku dan istri terbaik untuk bapak. Engkau tahu, hidupmu berharga. Dan kini, mahkota kehidupan menjadi milikmu. Selamat berbahagia bersama Penciptamu, ya Bu…. Kami di sini akan meneladani semua kebaikanmu.

Peluk erat dan salam rindu sedalam kalbu dariku .. Sampai kita bertemu lagi di surga-Nya yang indah.

I love you, Ibu…